ZONA DAMAI BERNAMA LAUT
Laut semestinya menjadi zona damai, ruang kolaborasi kemanusiaan universal, bukan konfrontasi. Menjadi tugas animator Laudato Si’ memulihkan kembali kesakralan laut, menjadi rumah damai bagi seluruh ciptaan.
Dari global commons menjadi ajang pertarungan
Sejarah manusia dan sejarah laut adalah satu. Samudra telah lama menjadi jalur bangsa-bangsa sepanjang ribuan tahun, jalan bersama bagi perdagangan, penjelajahan, dan pertukaran budaya, menghubungkan peradaban-peradaban di seluruh dunia. Laut adalah ibu yang baik hati, sumber dari sumber daya alam yang melimpah, pangan, energi, dan mineral tak ternilai. Laut adalah zona harta penopang kelestarian hidup bersama, laut adalah commons global yang menjadi hak setiap makhluk.
Tetapi kisah tentang laut telah bergeser di jaman ini. Sumber daya darat yang makin habis, peningkatan kebutuhan energi, menjadikan mata dunia beralih ke samudra. Wilayah-wilayah laut yang kaya cadangan minyak, gas, dan mineral, serta jalur pelayaran strategis, menjadi pusat-pusat tegangan antarbangsa. Klaim kedaulatan pun tumpang tindih, terutama di Laut Cina Selatan, Arktik, dan Indo-Pasifik. Ketegangan dan perlombaan senjata angkatan laut. Laut yang semestinya jadi zona damai, menjelma menjadi medan perebutan pengaruh dan kekuatan.
Militerisasi laut makin intensif. Anggaran pertahanan maritim, membangun kapal perang canggih, kapal selam nuklir, dan pangkalan militer di wilayah pesisir pun meningkat, terutama di tangan negara-negara besar. Latihan militer berskala besar sering dilakukan, bahkan di perairan sensitif secara ekologis, menambah tekanan pada ekosistem laut yang sudah rentan. Peningkatan kehadiran militer ini menciptakan suasana ketidakpercayaan dan potensi konflik yang berbahaya bagi stabilitas regional dan global.
Ancaman kerentanan lingkungan akibat geopolitik dan militerisasi
Ketika laut berubah dari penopang kehidupan menjadi medan perebutan kekuasaan, lingkungan pun terdampak tidak hanya sporadis, tetapi sistemik dan berpotensi sangat menghancurkan. Mari merinci bagaimana aktivitas geopolitik dan militer di laut secara fundamental merusak ekosistem, menguras sumber daya, dan mengalihkan perhatian dari konservasi.
Kerusakan ekosistem akibat aktivitas militer berskala besar dan teknologi canggih: Militerisasi modern tak hanya melibatkan kapal dan senjata, tetapi juga teknologi canggih yang memiliki jejak ekologis yang signifikan.
a) Snar Aktif Frekuensi Rendah (LFAS) dan dampak pada mamalia laut: Salah satu contoh paling mencolok adalah penggunaan sistem sonar aktif frekuensi rendah (LFAS) oleh angkatan laut untuk mendeteksi kapal selam. Sonar ini memancarkan gelombang suara yang sangat kuat dan dapat merambat jauh di dalam air. Riset telah menunjukkan bahwa LFAS dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen, perubahan perilaku, dan bahkan kematian massal pada mamalia laut seperti paus dan lumba-lumba (Parsons et al., 2008; Tyack et al., 2011). Contoh kasus yang didokumentasikan dengan baik adalah insiden terdamparnya massal paus berparuh Cuvier di Bahama pada tahun 2000, yang dikaitkan dengan latihan angkatan laut AS yang menggunakan sonar (Balcomb & Claridge, 2001). Gelombang suara ini mengganggu sistem navigasi alami mamalia laut, menyebabkan disorientasi, kepanikan, dan pada akhirnya kematian karena dekompresi atau terdampar.
b) Latihan Menembak Langsung (“Live-Fire Exercises”) dan perusakan habitat fisik: Latihan menembak langsung yang melibatkan amunisi aktif, rudal, dan bom dapat secara langsung menghancurkan struktur fisik dasar laut seperti terumbu karang, bebatuan laut, dan padang lamun. Contohnya adalah insiden kerusakan terumbu karang di dekat Pulau Pagan di Kepulauan Mariana Utara akibat latihan pengeboman oleh militer AS (Burdick et al., 2008). Fragmen amunisi yang tersisa di dasar laut juga dapat mengandung bahan kimia berbahaya yang mencemari lingkungan dalam jangka panjang.
c) Pengujian senjata dan dampak kimia/radiologis: Pengujian senjata baru, terutama yang melibatkan bahan peledak atau propelan kimia, dapat _melepaskan zat-zat beracun ke dalam air. Lebih lanjut, warisan dari uji coba senjata nuklir di Samudra Pasifik, seperti di Bikini Atoll, masih terasa hingga kini dengan tingkat radioaktivitas yang tinggi dan kontaminasi pada rantai makanan laut, yang berdampak pada kesehatan manusia dan ekosistem (Simon et al., 2012).
d) Pergerakan kapal laut berat dan kerusakan dasar laut: Kapal perang, khususnya kapal induk dan kapal selam, memiliki bobot yang sangat besar. Manuver di perairan dangkal atau area pesisir dapat menyebabkan pengadukan sedimen, merusak bentos (organisme dasar laut), dan menghancurkan habitat kritis bagi spesies yang hidup di dasar laut.
Polusi berkelanjutan dari operasi dan pangkalan militer: Kehadiran militer yang terus-menerus dan ekstensif di laut dan pesisir merupakan sumber polusi kronis yang seringkali luput dari pengawasan ketat.
a) Limbah operasional kapal: Kapal militer menghasilkan berbagai jenis limbah, termasuk limbah cair (bahan bakar, minyak pelumas, air bilas lambung kapal), limbah padat (sampah umum, sisa makanan), dan limbah berbahaya (zat kimia pembersih, baterai). Meskipun ada regulasi internasional, penegakan di perairan internasional atau di tengah operasi militer seringkali menjadi tantangan (Lester & Meisner, 2019). Tumpahan minyak kecil yang terus-menerus dari operasi rutin dapat mengakumulasi dampak signifikan seiring waktu, membentuk lapisan tipis yang menghambat pertukaran gas di permukaan laut dan merusak bulu burung laut.
b) Kontaminasi dari pangkalan militer pesisir: Pangkalan militer di wilayah pesisir seringkali menjadi titik akumulasi polutan historis. Contohnya adalah kontaminasi di Pangkalan Angkatan Laut di San Diego, AS, dengan polychlorinated biphenyls (PCBs) dan merkuri dari aktivitas industri dan pembuangan limbah selama bertahun-tahun, yang telah mencemari sedimen dan organisme laut (NOAA, 2016). Kontaminan ini dapat masuk ke rantai makanan, berakumulasi di puncak predator, termasuk ikan yang dikonsumsi manusia.
c) Polusi suara kronis: Selain sonar aktif, kebisingan dari mesin kapal perang, helikopter, dan jet tempur di atas laut menciptakan polusi suara kronis yang dapat mengganggu perilaku migrasi, makan, dan reproduksi spesies laut yang sensitif terhadap suara.
Ancaman terhadap tata kelola lingkungan dan keanekaragaman hayati di zona konflik/sengketa: Konflik geopolitik seringkali menciptakan "zona abu-abu" di mana penegakan hukum lingkungan menjadi sangat lemah atau tidak ada.
a) Penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing): Di wilayah sengketa, misalnya di Laut Cina Selatan, kurangnya patroli yang efektif dan ketidakjelasan yurisdiksi memungkinkan maraknya praktik IUU fishing. Kapal-kapal besar dapat beroperasi tanpa izin, menggunakan metode yang merusak (seperti pukat harimau atau pengeboman ikan), dan menguras stok ikan tanpa konsekuensi. Hal ini tidak hanya merugikan ekosistem, tetapi juga mengancam mata pencarian nelayan tradisional yang bergantung pada praktik lestari (Sumaila et al., 2020).
b) Eksploitasi sumber daya tanpa pengawasan: Perebutan klaim atas cadangan minyak dan gas di dasar laut, seperti yang terlihat di Arktik atau Laut Cina Selatan, dapat mendorong eksplorasi dan eksploitasi yang terburu-buru tanpa penilaian dampak lingkungan yang memadai. Risiko tumpahan minyak besar atau kebocoran gas metana dari pengeboran di wilayah yang tidak stabil secara politik sangat tinggi.
c) Hambatan untuk kolaborasi konservasi: Ketegangan geopolitik secara signifikan menghambat upaya kolaborasi ilmiah dan konservasi antarnegara. Data penting tentang kesehatan laut mungkin tidak dibagikan, dan inisiatif perlindungan lintas batas menjadi sulit diwujudkan. Misalnya, upaya untuk menciptakan kawasan lindung laut di wilayah sengketa seringkali terhalang oleh perbedaan klaim kedaulatan.
Pengalihan sumber daya dan prioritas dari konservasi:_ Perlombaan senjata dan persiapan konflik menyedot sumber daya finansial dan intelektual yang sangat besar, yang seharusnya dapat dialokasikan untuk masalah lingkungan yang mendesak.
a) Anggaran pertahanan versus anggaran lingkungan: Triliunan dolar dihabiskan setiap tahun untuk militer di seluruh dunia. Sebagian kecil saja dari anggaran ini dapat memberikan dorongan besar bagi penelitian laut, implementasi solusi perubahan iklim, atau pendanaan program konservasi. Di tengah ancaman eksistensial perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati, prioritas pada pengeluaran militer menunjukkan disorientasi kolektif (SIPRI, 2024).
b) Kurangnya tenaga ahli dan penelitian: Para ilmuwan dan insinyur terkemuka kelautan seringkali dialihkan untuk bekerja pada proyek-proyek militer daripada solusi lingkungan. Ini menghambat inovasi dan kemajuan dalam bidang konservasi laut dan adaptasi iklim.
c) Dampak psikologis dan sosial: Ketidakpastian dan ketakutan yang ditimbulkan oleh ketegangan geopolitik juga dapat mengurangi dukungan publik dan pemerintah terhadap isu-isu lingkungan, karena prioritas bergeser ke "keamanan nasional" dalam konteks militeristik.
Militerisasi laut dan konflik geopolitik tak hanya ancaman tambahan bagi laut, tetapi wujud dari disfungsi global yang lebih dalam, saat logika kekuasaan dan eksploitasi mengalahkan prinsip kolaborasi dan keberlanjutan. Ini adalah sebuah tantangan mendalam bagi ekologi integral dari ensiklik Laudato Si' Paus Fransiskus, karena ia mengabaikan keterkaitan antara perdamaian, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.
Laut sebagai ruang sakral dan panggilan untuk perdamaian
Dalam terang ensiklik Laudato Si, Laut, adalah bagian dari rumah kita bersama. Ketika laut dimiliterisasi dan menjadi ajang konflik, kita melanggar kehendak kasih Allah “ laut sebagai rumah kita bersama”. Kita juga melanggar panggilan untuk menjadi penjaga segenap ciptaan. "Kekuatan militer, peperangan, adalah sebuah kehancuran, sebuah kegagalan kemanusiaan. Adalah sebuah kekalahan dari kemanusiaan." (Paus Fransiskus, Doa Angelus, 1 September 2013).
Laut, dalam berbagai kitab suci dan tradisi keagamaan, seringkali melambangkan kedalaman, misteri, dan sumber kehidupan ilahi. Roh Allah yang melayang-layang di atas air (Kejadian 1:2), menunjukkan bahwa laut ciptaan yang terberkati. Ajaran Sosial Gereja (ASG), menekankan prinsip perdamaian dan penggunaan sumber daya secara bertanggung jawab. Laut adalah warisan bersama umat manusia . Militerisasi laut melanggar prinsip kebaikan bersama dan martabat manusia, karena kehidupan, peradaban, sosial ekonomi, dan lingkungan yang menopang kita semua terancam olehnya.
Laut semestinya menjadi zona damai, ruang kolaborasi kemanusiaan universal, bukan konfrontasi. Keamanan sejati tak ditemukan dalam kekuatan senjata, tetapi dalam hubungan harmonis manusia dan segenap ciptaan, dan manusia satu sama lain. Menjadi tugas Animator Laudato Si’ memulihkan kembali kesakralan laut, menjadi rumah damai bagi seluruh ciptaan.
Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com
Disclamer: Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI
Dari Sejarah : 17 Juni : Hari Dunia untuk Memerangi Desertifikasi dan Kekeringan (World Day to Combat Desertification and Drought). Ditetapkan Majelis Umum PBB Desember 1994 melalui resolusi no. A/RES/49/115.Peringatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran tentang desertifikasi (penggurunan), degradasi lahan, dan kekeringan (DLDD), serta mendidik masyarakat tentang cara-cara mencegah dan memulihkan lahan dari degradasi. Peringatan ini menekankan pentingnya pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Tahun ini peringatan ini tepat berada di tengah Dekade PBB untuk Pemulihan Ekosistem (2021-2030), dan mengangkat tema "Restore the Land. Unlock the Opportunities.”