PERUBAHAN IKLIM DAN PENGASAMAN LAUT


Selama 150 tahun terakhir, laut terus-menerus menyerap energi akibat pemanasan global setara dengan lima ledakan bom atom Hiroshima setiap detik (Trenberth et al., 2014)

Ketika Odin, dan para dewa Norse, mengetahui ramalan bahwa keturunan Loki akan membawa malapetaka bagi Aesir, dunia para dewa Norwegia.Odin mengambil ketiga anak Loki dari Angrboda. Jörmungandr, anak Loki, yang saat itu masih berupa ular kecil, dilemparkan Odin ke lautan yang mengelilingi Midgard (dunia manusia).Tetapi Jörmungandr tumbuh sangat cepat dan besar. Ia bisa melingkari seluruh dunia dan menggigit ekornya sendiri. Lautan bergejolak dan bumi berguncang tiap kali ia bergerak. Seperti Odin, kita telah membuang ketakutan dan kebusukan peradaban kita ke lautan. Jörmungandr, yang menjelmakan pelarian kita atas hidup yang bertanggung jawab di daratan, menjelma pula menjadi kematian bagi kehidupan. 

Andai lautan adalah jantung yang terus berdetak bagi planet kita, maka perubahan iklim dan perubahan keasaman/asidifikasi laut adalah serangan jantung mematikan, yang secara diam-diam menyerang dari dalam. Lautan selama jutaan tahun telah berfungsi menjadi pengatur iklim dan penopang keanekaragaman hayati, laut yang sama pula kini menjadi "kambing hitam" dari aktivitas manusia yang tak terkendali, bak sampah yang terus-menerus dijejali dampak perilaku kebudayaan manusia yang tak lestari. Laut menyerap panas dan karbon dioksida berlebih dari atmosfer, laut menanggung beban polusi kita, laut menanggung epsloitasi berlebihan atasnya. Laut, sekalipun baik dan murah hati, ia memiliki batas maksimal. Dan karena laut tambisa bersuara, kehancuran laut itu sendiri yang saat ini berbicara keras kepada kita. Ya. Alarm telah berbunyi. Apakah kita dengar bunyi sirene peringatan itu ?

 

1. Pemanasan Lautan

Lautan adalah penyerap panas terbesar di Bumi. Sejak Revolusi Industri, samudra telah menyerap lebih dari 90% kelebihan panas yang terperangkap oleh emisi gas rumah kaca antropogenik kita, demikian laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) edisi ke-5 (AR5) dan berbagai studi lanjutannya. Sejak tahun 1971, lautan telah mengakumulasi energi sekitar 280 zettajoule (ZJ). Sebuah jumlah energi yang sangat besar. Sebuah studi populer Kevin Trenberth dan teman-teman dari National Center for Atmospheric Research (NCAR) di tahun 2016 mencatat kelebihan panas yang tersimpan di lautan setara dengan lima ledakan bom atom Hiroshima setiap detik selama 150 tahun terakhir (Trenberth et al., 2014).Panas itu terus-menerus terakumulasi di dalam air. Akibatnya, suhu air laut terus meningkat, memicu serangkaian dampak yang dahsyat:

a) Kenaikan suhu air laut dan deoksigenasi: Permukaan laut memanas secara global, dan panas ini merambat hingga ke kedalaman. Peningkatan suhu air laut menyebabkan air memuai (yang juga berkontribusi besar pada kenaikan permukaan air laut) dan juga mengurangi kelarutan oksigen di dalam air. Akibatnya, zona-zona dengan oksigen rendah, atau "zona mati" (dead zones), meluas. Organisme laut membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup, dan perluasan zona mati ini memaksa mereka bermigrasi, berkumpul di area terbatas, atau mati. Sejak tahun 1960-an, volume perairan laut dengan kandungan oksigen rendah telah meningkat empat kali lipat, dan zona mati pesisir telah meningkat sepuluh kali lipat (Schmidtko et al., 2017).

b) Pemutihan karang secara massal: Kenaikan suhu air laut menjadi penyebab utama pemutihan karang (coral bleaching). Ketika air laut menjadi terlalu hangat, karang mengalami stres dan mengeluarkan alga simbiotik mikroskopis yang hidup di jaringannya, yang disebut zooxanthellae. Alga inilah yang memberi warna pada karang dan menyediakan sebagian besar makanannya melalui fotosintesis. Tanpa zooxanthellae, karang menjadi putih (seperti 'memutih') dan sangat rentan terhadap penyakit dan kematian.

i. Frekuensi dan intensitas peristiwa pemutihan karang massal telah meningkat secara dramatis. Great Barrier Reef di Australia, terumbu karang terbesar di dunia, telah mengalami peristiwa pemutihan massal yang parah pada tahun 2016, 2017, 2020, dan 2022, yang menyebabkan hilangnya sebagian besar karang keras (Hughes et al., 2018; Australian Institute of Marine Science, 2022). Indikator ilmiah yang dikenal sebagai Degree Heating Weeks (DHW), yang mengukur akumulasi stres panas, menunjukkan bahwa banyak terumbu karang kini rutin terpapar DHW di atas ambang batas kritis 4°C, yang memicu pemutihan parah.

ii. Kerusakan terumbu karang berarti hilangnya habitat penting bagi sekitar 25% spesies laut, yang mengancam keanekaragaman hayati laut dan mata pencarian miliaran orang yang bergantung pada perikanan dan pariwisata terumbu karang (Wilkinson, 2008).

c) Pencairan es kutub dan gletser: Pemanasan global tak hanya memanaskan air, tetapi juga mencairkan lapisan es raksasa di kutub (Greenland dan Antartika) serta gletser pegunungan. Air lelehan ini mengalir ke laut, menjadi kontributor signifikan terhadap kenaikan permukaan air laut (sea level rise).

i. Tingkat kenaikan permukaan air laut global rata-rata telah mencapai 3,6 mm per tahun antara 2006 dan 2015, dan terus meningkat (IPCC, 2019), jauh lebih cepat dibandingkan abad ke-20.

ii. Dampak pencairan es juga meluas ke ekosistem kutub, mengancam habitat beruang kutub, anjing laut, dan spesies lain yang bergantung pada es laut untuk berburu, berkembang biak, dan beristirahat. Perubahan salinitas dari air lelehan es juga berpotensi mengganggu sirkulasi arus laut besar seperti Atlantic Meridional Overturning Circulation (AMOC), yang dapat memicu perubahan pola cuaca ekstrem di seluruh dunia.

 

2. Lautan yang mengasam, ancaman bagi kehidupan berkalsium

 Selain memanas, lautan juga mengalami perubahan kimia yang sangat mengkhawatirkan: kenaikan tingkat keasaman/asidifikasi laut. Kenaikan keasaman laut adalah "masalah CO2 lainnya," yang sering kali kurang terlihat tetapi dampaknya tak kalah dahsyat:

 a) Mekanisme kimia yang mematikan: Sejak Revolusi Industri, lautan telah menyerap sekitar 30% dari seluruh karbon dioksida (CO2) antropogenik/buatan manusia yang dilepaskan ke atmosfer (Doney et al., 2009). Ini adalah layanan ekosistem yang luar biasa, jika tidak, perubahan iklim di daratan akan jauh lebih parah. Namun, ketika CO2 larut dalam air laut, ia bereaksi dengan air (H2O) membentuk asam karbonat (H2CO3). Asam karbonat ini melepaskan ion hidrogen (H+), yang menurunkan pH air laut, menjadikannya lebih asam.

a. Perlu diingat bahwa skala pH adalah skala logaritmik; penurunan 0,1 unit pH berarti peningkatan keasaman sekitar 30%. Sejak pra-industri, pH rata-rata permukaan laut global telah turun sekitar 0,1 unit pH, dari sekitar 8,2 menjadi 8,1 (IPCC, 2019). Ini adalah perubahan yang sangat cepat dalam skala geologis.

 

b) Dampak krusial pada organisme berkalsium: Peningkatan keasaman laut secara langsung memengaruhi ketersediaan ion karbonat (CO3^2-), yang sangat dibutuhkan oleh banyak organisme laut untuk membangun dan mempertahankan cangkang atau kerangka mereka dari kalsium karbonat.

a. Pteropoda (Kupu-kupu Laut): Organisme kecil ini adalah siput laut bersayap yang menjadi dasar rantai makanan di laut Arktik dan Antartika, menjadi mangsa penting bagi ikan, paus, dan burung laut. Dengan peningkatan keasaman, cangkang tipis pteropoda mulai melarut, membuat mereka rentan dan kesulitan bertahan hidup. Keruntuhan populasi pteropoda akan memiliki efek kaskade yang menghancurkan seluruh jaring makanan kutub (Bednaršek et al., 2014).

b. Terumbu Karang: Karang adalah organisme kalsifikasi. Kenaikan keasaman laut, bersama dengan pemanasan, menjadi "pukulan ganda" bagi karang. Lingkungan yang lebih asam membuat karang kesulitan untuk mengekstrak ion karbonat dari air laut dan membangun kerangka mereka (akibat penurunan Aragonite Saturation State), bahkan dapat menyebabkan kerangka yang sudah ada mulai melarut (Hoegh-Guldberg et al., 2017). Ini menghambat pertumbuhan karang dan pemulihan dari pemutihan.

c. Moluska, Krustasea, dan Echinodermata: Tiram, kerang, udang, kepiting, dan bintang laut semuanya bergantung pada kalsium karbonat untuk cangkang atau kerangka mereka. Keasaman yang meningkat mempersulit mereka untuk membentuk struktur pelindung ini, memengaruhi pertumbuhan, perkembangan larva, reproduksi, dan kelangsungan hidup mereka (Gaylord et al., 2011).

c) Dampak lebih luas pada ekosistem: Asidifikasi juga memengaruhi fisiologi dan perilaku ikan (misalnya, memengaruhi indera penciuman dan kemampuan mereka mengenali predator), serta mengubah komposisi komunitas mikroba laut yang fundamental bagi siklus nutrisi dan produksi oksigen.

 

Ancaman Kerentanan Lingkungan: Kombinasi Bencana

Pemanasan dan kenaikan keasaman laut bukanlah ancaman yang terpisah; keduanya bekerja secara sinergis, menciptakan tekanan ganda yang jauh lebih besar daripada efek tunggalnya. Ekosistem laut yang sudah melemah akibat pengambilan ikan berlebihan dan polusi plastik menjadi sangat rentan terhadap perubahan iklim. Karang yang sudah stres karena panas akan lebih sulit pulih jika air juga asam. Spesies yang terpaksa bermigrasi karena zona mati akan menghadapi lingkungan yang tidak familiar dan mungkin lebih asam. Kehilangan keanekaragaman hayati mengurangi ketahanan ekosistem untuk beradaptasi terhadap perubahan yang semakin cepat. Ini adalah badai sempurna yang mengancam keberlangsungan hidup di lautan.

"Iklim adalah barang umum, milik semua orang dan dimaksudkan untuk semua orang." (Laudato Si', No. 23), demikian ungkap Paus Fransiskus. Demikian pula, dampak perubahan iklim dan kenaikan keasaman laut tidak mengenal batas negara dan memengaruhi seluruh ciptaan, Kepada kita dituntut tanggung jawab kolektif. Bukan hanya demi manusia itu sendiri, tetapi bagi segenap ciptaan, yang masing-masing memiliki nilai dan martabatnya sendiri di hadapan Allah (Laudato Si', No. 69). Dan mari kita perluas pepatah suku Bajo itu, "Kita tidak mewarisi lautan dari leluhur kami; kita meminjamnya dari anak cucu kita." Ya, kita juga meminjamnya dari segenap ciptaan di muka bumi.

 

Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com

Disclamer: Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI

Dari Sejarah : Hari Angin Sedunia (Global Wind Day) Hari Angin Sedunia adalah acara tahunan yang diselenggarakan oleh WindEurope dan Global Wind Energy Council (GWEC). Tujuannya untuk menemukan kembali angin, potensinya, dan kekuatan yang dimilikinya untuk membentuk kembali sistem energi kita, mendekarboninasi perekonomian kita, dan meningkatkan pembangunan ekonomi dan lapangan kerja. Hari Ini adalah hari untuk merayakan energi angin sebagai salah satu sumber energi terbarukan paling bersih dan paling penting dalam mitigasi perubahan iklim.

Popular Posts