LAUT ADALAH TEMPAT SAMPAH KITA
Adil, mulai dari samudera !
Laut adalah tempat sampah kita. Masih melanjutkan kisah sang ular raksasa Jörmungandr, takdir Jörmungandr sangat terikat dengan Ragnarök, akhir dunia dalam mitologi Nordik. Saat Ragnarök tiba, Jörmungandr akan bangkit dari lautan dan memuntahkan racun ke langit dan bumi, menyebabkan kekacauan dan kehancuran. Ia akan terlibat dalam pertarungan terakhir dan paling dahsyatnya dengan Thor. Thor memang berhasil membunuh Jörmungandr dengan Mjölnir. Tetapi, Thor hanya bisa berjalan sembilan langkah sebelum roboh dan tewas akibat racun mematikan Jörmungandr. Betapa mematikan akumulasi keburukan dan kebencian yang terus-menerus kita curahkan ke samudera.
Laut adalah tempat sampah kita. Di samping plastik yang secara khusus kita diskusikan kemarin, lautan kita adalah tempat pembuangan akhir bagi berbagai jenis limbah, dengan karakteristik dan dampak destruktifnya masing-masing. Memahami spektrum pencemaran ini adalah langkah awal untuk merumuskan respons yang komprehensif.
1. Limbah Industri
Sungai-sungai, yang seharusnya menjadi arteri kehidupan, berubah fungsi menjadi saluran pembuangan raksasa yang mengalirkan "racun" industri menuju lautan. Konsensus ilmiah (lihat: UNEP, 2017; Karimi et al., 2012; Jepson et al., 2016) menyatakan limbah industri secara fundamental adalah ramuan mematikan berbagai zat beracun yang sulit terurai di lingkungan dan menimbulkan efek kumulatif seiring waktu pada ekosistem dan kesehatan manusia."
a) Logam Bberat: Merkuri, timbal, kadmium, dan kromium adalah contoh logam berat yang dihasilkan industri pertambangan, metalurgi, baterai, dan tekstil. Sebuah studi PBB tahun 2017 mengungkapkan sekitar 80% pencemaran laut berasal dari daratan, dengan limbah industri menjadi kontributor terbesar. Di Indonesia, misalnya, sungai-sungai besar seperti Citarum dikenal sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia, mengalirkan ribuan ton limbah industri, termasuk merkuri, ke Laut Jawa. Merkuri, bahkan dalam konsentrasi rendah, dapat menyebabkan bioakumulasi (penumpukan racun dalam organisme karena tubuhnya tidak bisa membuang atau menguraikannya secepat ia menyerapnya) dan biomagnifikasi (penumpukan racun melintasi organisme dari mangsa ke pemangsa) dalam rantai makanan. Ikan tuna dan marlin, yang ada di puncak rantai makanan, seringkali memiliki kadar merkuri yang tinggi, berpotensi menyebabkan kerusakan saraf dan ginjal pada manusia yang mengonsumsinya.
b) Bahan Kimia Organik Persisten (POPs): Senyawa seperti PCB (Polychlorinated Biphenyls) dan dioksin, yang berasal dari industri kimia dan pembakaran limbah, adalah "hantu" tak kasat mata di lautan. Mereka tidak mudah terurai, bertahan selama puluhan tahun, dan memiliki sifat karsinogenik (penyebab kanker) serta mutagenik (penyebab mutasi genetik). POPs dapat mengganggu sistem endokrin (hormon) pada biota laut, menyebabkan masalah reproduksi, deformitas, dan melemahnya sistem kekebalan tubuh. Riset menunjukkan bahwa mamalia laut seperti lumba-lumba dan paus di perairan tercemar memiliki kadar PCB yang tinggi dalam jaringannya, mempengaruhi fertilitas dan kelangsungan hidup populasi mereka.
c) Dampak ekologis yang menghancurkan: Logam berat meracuni plankton, dasar dari rantai makanan laut, sampai ikan-ikan besar. Studi di Teluk Minamata, Jepang, pasca-pencemaran merkuri, menunjukkan bagaimana populasi ikan dan kerang musnah, mengakibatkan "penyakit Minamata" yang mematikan pada manusia. Limbah industri yang bersifat asam atau basa dapat mengubah pH air laut, menciptakan kondisi mematikan bagi organisme laut yang sensitif, seperti terumbu karang. Perubahan pH 0,1 unit saja bisa sangat merusak ekosistem terumbu karang yang rapuh. Data dari laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menyoroti bagaimana gabungan tekanan, termasuk pencemaran, mempercepat degradasi terumbu karang secara global, dengan proyeksi kehilangan hingga 90% terumbu karang dunia pada tahun 2050 jika tren saat ini berlanjut.
d) Ancaman kerentanan manusia dan sosial: Masyarakat pesisir, terutama nelayan tradisional, adalah korban pertama dan paling parah. Data dari FAO menunjukkan penurunan stok ikan akibat pencemaran mengikis mata pencarian jutaan nelayan kecil di seluruh dunia. Konflik sosial juga sering timbul akibat perebutan sumber daya yang semakin menipis atau dampak kesehatan yang diakibatkan oleh konsumsi ikan tercemar. Di beberapa wilayah, tingkat stunting pada anak-anak di komunitas pesisir juga dikaitkan dengan penurunan kualitas dan kuantitas asupan protein dari laut.
2. Tumpahan Minyak
Tumpahan minyak, meskipun insiden tunggalnya mungkin tak sesering limbah industri, menjadi bencana instan yang memicu krisis ekologis skala besar. Setiap tahun, jutaan ton minyak (baik dari tumpahan besar maupun pembuangan rutin dari kapal) berakhir di lautan.
a) Skala bencana dan dampak multi-lapisan: Insiden seperti tumpahan Deepwater Horizon di Teluk Meksiko pada tahun 2010, melepaskan lebih dari 4 juta barel minyak, menunjukkan skala kerusakan yang masif. Minyak membentuk lapisan tebal yang menghalangi pertukaran gas antara air dan atmosfer, menyebabkan kondisi anoksia (kekurangan oksigen) di kolom air. Burung laut yang terkena minyak kehilangan bulu pelindungnya, menyebabkan hipotermia dan kematian. Menurut US Fish and Wildlife Service, tumpahan minyak besar dapat membunuh ratusan ribu burung laut. Mamalia laut seperti lumba-lumba dan paus bisa mengalami kerusakan paru-paru, iritasi mata, dan keracunan internal dari menelan minyak. Bahkan setelah minyak terlihat bersih, hidrokarbon aromatik polisiklik (PAHs) yang terkandung dalam minyak dapat tetap berada di sedimen laut selama bertahun-tahun, menyebabkan mutasi genetik, gangguan reproduksi, dan penyakit pada biota dasar laut seperti kerang dan kepiting.
b) Pemulihan yang panjang dan mahal: Upaya pembersihan pasca-tumpahan minyak memakan waktu puluhan tahun dan miliaran dolar, namun ekosistem seringkali tidak pernah pulih sepenuhnya. Teluk Valdez di Alaska, tempat tumpahan Exxon Valdez pada tahun 1989, masih menunjukkan jejak minyak di beberapa wilayah, dengan beberapa populasi organisme, seperti ikan herring, belum pulih sepenuhnya hingga saat ini. Ini adalah bukti nyata betapa rapuhnya ekosistem laut terhadap agresi semacam ini.
c) Ancaman kerentanan ekonomi dan budaya: Wilayah pesisir yang bergantung pada perikanan, budidaya laut, dan pariwisata akan mengalami kelumpuhan ekonomi. Nelayan kehilangan mata pencarian, pantai-pantai ditutup, dan reputasi daerah tercoreng. Dampak ini bukan hanya ekonomi, tetapi juga merusak warisan budaya dan gaya hidup masyarakat pesisir yang telah terbentuk selama berabad-abad.
3. Sampah Medis
Pandemi COVID-19 membuka mata kita pada fenomena baru yang mengkhawatirkan: lonjakan limbah medis di lingkungan. Laporan PBB tahun 2021 menunjukkan sekitar 87.000 ton APD yang dibeli antara Maret 2020 dan November 2021 untuk mengatasi COVID-19 diperkirakan telah terbuang sebagai limbah, dengan sebagian besar berakhir di tempat pembuangan akhir atau, lebih buruk lagi, di lingkungan alami.
a) Ancaman biohazard dan mikroplastik: Masker, sarung tangan, jarum suntik, dan botol obat yang tidak terkelola dengan baik menjadi ancaman biohazard langsung bagi manusia dan biota laut. Jarum suntik dapat melukai hewan, sementara masker dan sarung tangan, yang sebagian besar terbuat dari plastik, berkontribusi pada masalah mikroplastik. Sebuah studi di jurnal Environmental Science & Technology memperkirakan bahwa setiap bulan, lebih dari 1 miliar masker wajah yang tidak dapat terurai secara hayati memasuki lautan kita, dengan potensi pecah menjadi mikroplastik yang lebih kecil.
b) "Cocktail" farmasi di laut: Selain limbah fisik, limbah farmasi seperti antibiotik, hormon dari pil KB, dan antidepresan yang tidak terpakai atau dibuang ke toilet, juga mencemari perairan. Riset menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik di beberapa perairan pesisir telah mencapai tingkat yang memicu resistensi antibiotik pada bakteri laut. Ini adalah ancaman serius bagi kesehatan global, karena resistensi antibiotik dapat membuat pengobatan infeksi pada manusia semakin sulit. Hormon dari kontrasepsi dapat menyebabkan feminisasi pada ikan jantan, mengganggu reproduksi dan kelangsungan hidup populasi.
c) Ancaman kerentanan publik: Kehadiran sampah medis di pantai menciptakan risiko kesehatan yang jelas bagi masyarakat, terutama anak-anak. Secara psikologis, pemandangan limbah medis juga merusak persepsi kebersihan dan keindahan lingkungan, menghambat kegiatan pariwisata dan rekreasi. Lebih jauh, ancaman resistensi antibiotik yang berasal dari lingkungan laut merupakan "bom waktu" kesehatan global yang harus segera ditangani.
4. Limbah Pertanian
Pertanian, meskipun esensial untuk pangan, menjadi sumber pencemaran laut yang masif melalui penggunaan pupuk dan pestisida. Laporan USGS (United States Geological Survey) menyoroti bagaimana limpasan nutrisi dari pertanian adalah pemicu utama eutrofikasi global.
Eutrofikasi dan zona mati: Penggunaan pupuk kimia (nitrat dan fosfat) yang berlebihan menyebabkan limpasan nutrisi ke sistem sungai dan kemudian ke laut. Ini memicu ledakan pertumbuhan alga (algal blooms), termasuk "pasang merah" atau Harmful Algal Blooms (HABs). Ketika alga ini mati, dekomposisi oleh bakteri mengonsumsi oksigen terlarut dalam air secara drastis, menciptakan "zona mati" (hypoxic/anoxic zones) di mana oksigen sangat rendah atau tidak ada sama sekali. Salah satu zona mati terbesar di dunia berada di Teluk Meksiko, yang berukuran hingga lebih dari 20.000 kilometer persegi —lebih besar dari beberapa negara bagian— dan merupakan hasil dari limpasan nutrisi dari Sungai Mississippi. Di zona ini, sebagian besar biota laut, dari ikan hingga kerang, tidak dapat bertahan hidup, menyebabkan kerugian ekonomi miliaran dolar bagi industri perikanan.
Pestisida dan herbisida, pembunuh diam-diam: Pestisida dan herbisida yang terbawa air hujan ke laut adalah racun langsung bagi ekosistem. Mereka dapat menyebabkan kerusakan saraf, reproduksi, dan kekebalan tubuh pada berbagai organisme laut, bahkan pada konsentrasi yang sangat rendah. Sebagian besar pestisida adalah persistent organic pollutants, yang berarti mereka bertahan di lingkungan untuk waktu yang lama, terakumulasi dalam rantai makanan dan memiliki efek jangka panjang. Contoh nyata adalah penurunan populasi amfibi dan beberapa jenis ikan yang dikaitkan dengan paparan pestisida di perairan.
Ancaman kerentanan pangan dan lingkungan: Zona mati secara langsung mengurangi produktivitas perikanan, mengancam ketahanan pangan di wilayah pesisir. Selain itu, beberapa jenis alga yang tumbuh subur akibat eutrofikasi menghasilkan racun yang berbahaya bagi manusia jika mengonsumsi makanan laut yang terkontaminasi atau menghirup aerosol dari air yang tercemar. Ini berpotensi menyebabkan sindrom neurologis dan masalah pernapasan. Ancaman ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengikis fondasi ekonomi dan kesehatan masyarakat yang bergantung pada laut.
Segala sesuatu saling berhubungan
"Segala sesuatu saling berhubungan" (LS 16). Pencemaran laut menunjukkan bagaimana tindakan manusia di darat memiliki konsekuensi global yang menghancurkan. Laut sama sekali bukan entitas terpisah dari hidup kita. Ia adalah penopang lingkungan dan sosial kita. Keseimbangan laut adalah kelestarian hidup kita. Ecological justice mengundang kita untuk adil, tidak hanya pada manusia tetapi terlebih kepada alam, sesama ciptaan dan penopang hidup kita. Adil, mulai dari samudera !
Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com
Disclamer: Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI
Dari Sejarah : 16 Juni 1972, Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (Konferensi Stockholm) Berakhir. Konferensi Stockholm menjadi tonggak sejarah diplomasi lingkungan global, berlangsung 5 hingga 16 Juni 1972. Hasil dari konferensi ini sangat penting bagi lingkungan hidup global : Deklarasi Stockholm (dokumen 26 prinsip pemandu pengelolaan lingkungan yang baik), Rencana Aksi Lingkungan (menetapkan rekomendasi tindakan lingkungan internasional dan nasional, *Pembentukan Program Lingkungan PBB (UNEP) yang bertanggung jawab atas koordinasi kegiatan lingkungan global.