KRAKEN DAN PERANG PLASTIK LAUTAN


Tentakel-tentakel raksasa muncul dari lautan. Gurita raksasa berukuran lebih dari 1,6 km, monster kematian yang muncul di film "Pirates of the Caribbean" dan "Clash of the Titans"_, video game, dan literatur fantasi, adalah simbolisasi ketakutan kita akan kekuatan samudera. Ya, lautan yang tak terduga dan belum terjelajahi. Kisahnya adalah manifestasi ketidakberdayaan manusia di hadapan kekuatan alam yang dahsyat. Tetapi saat ini, ada tangan-tangan lain yang jauh lebih menyeramkan daripada mitologi Norwegia ini. Tantang-tangan yang merayap, bukan dari lautan, tetapi dari kota-kota dan perdaban.

Ya. Ada yang lebih menyeramkan daripada Kraken si gurita raksasa. Tangan-tangan raksasa yang  terentang dari hutan di puncak-puncak gunung hingga laut yang terdalam. Memetik bunga-bunga hingga menghancurkan ruang hidup sesama ciptaan. Mengeksploitasi, menghisap, menghancurkan. Tangan-tangan rakus ekonomi, politik, teknologi, dan kebudayaan. Tangan-tangan kita yang menghancurkan kehidupan.

Pada pagi, 13 Juni ini, mari kita berbincang tentang salah satu momok paling mendesak dan paling nyata di lautan kita: plastik, sampah plastik. Plastik di lautan adalah krisis lingkungan, sosial, ekonomi, dan juga moral yang mendalam. Plastik di lautan adalah wujud nyata dari apa yang berkali-kali disampaikan Paus Fransiskus : budaya membuang, throwaway culture. Kalau kau dan aku tak bertindak tegas dan terkoordinasi, laut yang bersama-sama kita cintai terancam menjadi lautan plastik. Lautan plastik dengan dampak-dampak sistemik yang tak terbayangkan bagi segenap kehidupan.

 

1. Wabah global bernama plastik

Krisis plastik di laut telah mencapai skala epik yang sangat mengkhawatirkan. Setiap menit, kira-kira satu truk sampah plastik dibuang ke laut (UNEP, 2018). Secara global, 8-12 juta ton sampah plastik masuk ke laut tiap tahun (Jambeck et al., 2015). Ini setara dengan mengisi 1,5 kali Menara Eiffel dengan plastik tiap hari. Jika tren ini terus berlanjut, diproyeksikan pada tahun 2050, jumlah plastik di laut akan lebih banyak daripada ikan berdasarkan beratnya (Ellen MacArthur Foundation, 2016).

 

Sumber utama sampah plastik ini bervariasi:

a) Berbasis Daratan (sekitar 80%): Sebagian besar berasal dari pengelolaan sampah yang buruk di daratan, termasuk limbah rumah tangga yang tidak terkumpul, pembuangan ilegal, dan sampah yang terbawa angin atau aliran sungai ke laut. Negara-negara berkembang dengan populasi padat dan infrastruktur pengelolaan sampah yang terbatas menjadi kontributor utama, meski konsumsi plastik per kapita di negara maju jauh lebih tinggi.

b) Berbasis Laut (sekitar 20%): Meliputi peralatan penangkapan ikan yang hilang atau dibuang (ghost gear), limbah dari kapal kargo, dan sampah aktivitas akuakultur.

Plastik di laut tak hanya botol dan kantong besar (makroplastik), tetapi juga fragmen-fragmen kecil tak terlihat (mikroplastik – ukuran kurang dari 5mm) dan bahkan partikel yang lebih kecil lagi (nanoplastik). Mikroplastik berasal dari fragmentasi makroplastik, serat sintetis dari pakaian yang dicuci, hingga microbeads dalam produk kosmetik. Mereka tersebar di mana-mana: mengapung di permukaan laut, melayang di kolom air, mengendap di dasar laut terdalam, dan bahkan ditemukan di es Arktik dan Antarktika (Lusher et al., 2017). Fenomena akumulasi seperti "Great Pacific Garbage Patch" – sebuah pusaran sampah raksasa di Samudera Pasifik Utara – menjadi bukti nyata betapa luasnya pencemaran ini.

 

2. Dampak pada biota laut hingga kesehatan manusia

Dampak sampah plastik di laut sangat kompleks dan merusak, plastik memengaruhi seluruh jaring kehidupan:

a) Dampak pada biota laut:

i. Terjerat (Entanglement): Ribuan, bahkan jutaan, hewan laut—mulai dari penyu, burung laut, anjing laut, lumba-lumba, hingga paus—mati tiap tahun karena terjerat jaring ikan yang ditinggalkan (ghost nets), tali, dan kantong plastik. Kematian ini seringkali lambat dan menyakitkan akibat sesak napas, luka parah, atau kelaparan karena tak bisa mencari makan.

ii. Tertelan (Ingestion): Biota laut sering salah mengira plastik sebagai makanan. Penyu sering mengira kantong plastik sebagai ubur-ubur. Burung laut memakan pelet plastik yang mengambang. Ini menyebabkan rasa kenyang palsu, penyumbatan saluran pencernaan, luka internal, dan keracunan, hingga akhirnya berakhir di kelaparan dan kematian (Gall & Thompson, 2015). Bahkan organisme kecil seperti zooplankton telah ditemukan menelan mikroplastik.

iii. Pelepasan Bahan Kimia: Plastik mengandung bahan kimia tambahan seperti ftalat, bisphenol A (BPA), dan zat pewarna yang dapat bocor ke air laut dan terserap organisme. Bahan kimia ini berpotensi mengganggu sistem endokrin, reproduksi, dan perkembangan biota laut. Plastik juga dapat menyerap polutan organik persisten (POP) dari air laut, menjadikannya "magnet racun" yang kemudian ditransfer ke hewan yang menelannya (Rochman et al., 2013).

 

b) Dampak pada rantai makanan dan ekosistem:

i. Biomagnifikasi: Ketika mikroplastik (dan racun yang menempel padanya) tertelan oleh organisme di tingkat trofik bawah (misalnya plankton), ia akan bergerak dan terakumulasi di tingkat trofik yang lebih tinggi (misalnya ikan kecil, lalu ikan besar), dalam proses yang disebut biomagnifikasi. Artinya, predator puncak dapat terpapar konsentrasi racun yang jauh lebih tinggi (Wright et al., 2013).

ii. Perubahan Ekosistem: Sampah plastik dapat menghancurkan habitat fisik, misalnya menutupi terumbu karang atau padang lamun, menghalangi cahaya matahari dan menyebabkan matinya ekosistem penting ini. Plastik juga dapat menjadi substrat bagi spesies invasif, memfasilitasi penyebaran mereka ke wilayah baru (rafting), mengancam keanekaragaman hayati lokal (Barnes & Fraser, 2003).

 

c) Dampak pada kesehatan manusia:

i. Konsumsi makanan laut terkontaminasi: Mikroplastik ditemukan dalam berbagai makanan laut yang biasa dikonsumsi manusia, termasuk ikan, kerang, dan garam (Smith et al., 2018; Renzi & Sá, 2020). Meski dampak jangka panjang pada kesehatan manusia masih dalam penelitian, kekhawatiran besar muncul mengenai paparan bahan kimia yang terkandung dalam plastik dan partikel plastik itu sendiri.

ii. Potensi risiko kesehatan: Studi awal menunjukkan bahwa paparan mikroplastik dapat berpotensi menyebabkan inflamasi, stres oksidatif, gangguan pada sistem imun, dan bahkan genotoksisitas (Chang et al., 2020). Meski belum ada bukti konklusif tentang dampak serius pada manusia, prinsip kehati-hatian harus diterapkan.

iii. Dampak sosial-ekonomi: Polusi plastik merusak industri pariwisata pesisir (pantai kotor mengurangi minat wisatawan) dan perikanan (hasil tangkapan berkurang, kualitas ikan menurun), mengancam mata pencarian dan ketahanan pangan komunitas pesisir.

 

3. Akar-akar masalah

Meski banyak hal telah dilakukan, itu semua tidak akan tuntas kalau kita tidak melihat persoalan-persoalannya yang paling mendasar:

volume produksi dan konsumsi plastik yang sangat tinggi: Kemudahan akses, harga yang murah, dan kurangnya alternatif kemasan yang terjangkau membuat konsumsi plastik sangat tinggi di Indonesia. Akibatnya, membanjirnya pasar dengan produk berkemasan plastik._

Sistem pengelolaan sampah di darat yang belum optimal: Akar masalah ada pada cakupan layanan, kapasitas TPA, keterbatasan anggaran dan sumber daya, rendahnya tingkat pemilahan sampah. Akibatnya, sampah tidak tertangani dengan baik di darat menjadi sumber utama masuknya plastik ke laut melalui sungai dan aliran air lainnya.

Lemahnya penegakan hukum dan regulasi: Meski ada regulasi, penegakan hukum terhadap pelanggaran seringkali lemah. Kurangnya pengawasan dan sanksi tegas mengurangi efek jera. Akibatnya, masyarakat dan pelaku usaha cenderung tidak mematuhi aturan.

Ketergantungan pada ekonomi linear: Model produksi dan konsumsi di Indonesia sebagian besar masih menganut ekonomi linear (ambil-buat-buang). Ini berakibat pada tingginya volume sampah yang dihasilkan dan mencemari lingkungan.

Perilaku masyarakat belum berubah signifikan: Meski kampanye kesadaran sudah banyak, perubahan perilaku ke arah yang lebih ramah lingkungan masih belum menjadi kebiasaan mayoritas masyarakat.

Kompleksitas geografis sebagai negara kepulauan: Pengelolaan sampah yang efektif di ribuan pulau dengan karakteristik geografis, aksesibilitas, dan tingkat perkembangan yang berbeda-beda menjadi tantangan logistik yang besar.Akibatnya, sulit membangun infrastruktur pengelolaan sampah yang merata dan terjangkau di seluruh negeri.

Kurangnya data dan informasi akurat: Data mengenai volume, jenis, dan sumber sampah plastik laut belum seragam dan komprehensif, sulit untuk merumuskan kebijakan yang tepat sasaran dan mengukur progres secara akurat. Akibatnya, kebijakan kurang tepat sasaran atau sulit memprioritaskan intervensi.

 

4. Perang Plastik dari Hulu ke Hilir

Mengatasi krisis plastik laut membutuhkan gerak sistemik dan holistik, dari hulu (pencegahan) hingga hilir (pembersihan):

A. Dari Hulu (pencegahan dan pengurangan sumber):

a) Mengurangi penggunaan plastik sekali pakai: adalah langkah paling fundamental.

b) Desain ekologis dan ekonomi sirkular: mendorong produsen merancang produk dan kemasan plastik yang memenuhi 3R atau dari bahan yang berkelanjutan. Model bisnis ekonomi sirkular dengan produk dan material tetap dalam siklus penggunaan selama mungkin.

c) Inovasi material alternatif: investasi pengembangan bioplastik atau material inovatif lainnya dengan jejak lingkungan rendah. Klaim "biodegradable" ini harus benar-benar teruji di kondisi laut.

d) Tanggung jawab produsen yang diperluas (EPR): produsen wajib bertanggung jawab atas siklus hidup produk mereka, termasuk pengumpulan dan daur ulang pasca penggunaan.

 

B. Di tengah (pengelolaan dan pengumpulan limbah):

a) Peningkatan infrastruktur pengelolaan sampah: terutama di negara berkembang (sistem pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan sampah yang efektif dan aman, fasilitas daur ulang).

b) Peningkatan daur ulang: mengedukasi masyarakat, membangun fasilitas daur ulang, menciptakan pasar produk daur ulang.

c) Pengolahan sampah menjadi energi (waste-to-energy): opsi terakhir untuk limbah yang tak dapat didaur ulang, dengan teknologi yang minim emisi berbahaya.

 

C. Di Hilir (Pembersihan dan Pemulihan):

a) Pembersihan pantai dan sungai: aksi membersihkan sampah plastik dari perairan, meski tak mengatasi akar masalah tapi sangat penting untuk mengurangi volume plastik.

b) Teknologi pembersihan lautan: pengembangan teknologi seperti "ocean cleanup" yang dirancang mengumpulkan plastik dari lautan. Meski menjanjikan, skalanya masih terbatas dibanding volume sampah.

c) Pengangkatan alat tangkap hantu (ghost gear retrieval): identifikasi dan pengangkatan jaring ikan dan peralatan tangkap lain yang hilang/dibuang.

 

5. Jika Kita Tidak Bertindak

 Jika kita gagal bertindak, skenario terburuk sudah did epan mata : lautan yang tak lagi memiliki kehidupan, lautan plastik yang mati, dan sumber kehidupan yang telah terkontaminasi tak terpulihkan.

a) Lautan Penuh Sampah: Bukan hanya "Great Pacific Garbage Patch," tetapi setiap sudut lautan akan dipenuhi gumpalan plastik, dari permukaan hingga dasar terdalam. Pantai-pantai akan menjadi tumpukan sampah raksasa, mengusir turis dan merusak mata pencarian.

b) Kehidupan Laut yang Lumpuh: Populasi ikan akan runtuh secara drastis akibat kelaparan, keracunan, dan kerusakan habitat. Spesies laut ikonik akan menghadapi kepunahan massal. Ekosistem vital seperti terumbu karang akan sepenuhnya tertutup plastik dan mati, menghilangkan benteng alami pesisir dan nurseri bagi keanekaragaman hayati. Lautan akan menjadi gurun biologis.

c) Krisis Ketahanan Pangan Global: Runtuhnya perikanan akan memicu krisis pangan global, terutama bagi miliaran orang yang bergantung pada laut sebagai sumber protein utama. Harga makanan laut akan melonjak, dan akses akan semakin terbatas.

d) Ancaman Kesehatan Manusia yang Meningkat: Mikroplastik dan nanoplastik akan menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap makanan laut yang kita konsumsi, air yang kita minum, dan bahkan udara yang kita hirup. Dampak jangka panjang pada kesehatan manusia akan terungkap sebagai wabah penyakit yang berkaitan dengan paparan kimia dan partikel plastik, membebani sistem kesehatan global.

e) Hilangnya Jasa Ekosistem Esensial: Lautan tidak lagi mampu menghasilkan oksigen sebanyak yang kita butuhkan, menyerap karbon dioksida secara efektif, atau mengatur iklim global. Ini akan mempercepat perubahan iklim, menyebabkan gelombang panas yang lebih ekstrem, badai yang lebih parah, dan bencana lingkungan yang tak terkendali.

f) Kehilangan Harapan dan Hubungan Spiritual: Lautan, yang dahulu menjadi sumber kekaguman dan spiritualitas, akan menjadi simbol kegagalan manusia yang paling menyakitkan. Kehilangan keindahan dan kehidupan laut akan membawa dampak psikologis dan spiritual yang mendalam, memutuskan hubungan manusia dengan ciptaan Tuhan.

 

Ada yang lebih menyeramkan daripada monster Kraken di lautan. Gurita raksasa lebih dari 1,6 km dan sering dikira sebagai pulau di tengah lautan. Kraken, legenda Nordik yang muncul di film "Pirates of the Caribbean" dan "Clash of the Titans", video game, dan literatur fantasi, yang dalam ketidakcermatan publik sering dianggap berasal dari mitologi Yunani itu. Pertama kali ditulis di abad ke-13 dalam manuskrip Norwegia kuno"Konungs skuggsjá,"_ disertai peringatan kepada para pelaut untuk menghindari daerah Kraken berburu. Kisah Kraken diduga sebagai hiperbola cumi-cumi raksasa (Architeuthis dux) yang memang menghuni laut dalam Skandinavia.

Ya. Ada yang lebih menyeramkan daripada Kraken si gurita raksasa. Tangan-tangan raksasa yang  terentang dari hutan di puncak-puncak gunung hingga laut yang terdalam. Memetik bunga-bunga hingga menghancurkan ruang hidup sesama ciptaan. Mengeksploitasi, menghisap, menghancurkan. Tangan-tangan rakus ekonomi, politik, teknologi, dan kebudayaan. Tangan-tangan kita yang menghancurkan kehidupan. Angkat tanganmu kawan, dan lakukan perubahan !

 

Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com

Disclamer: Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI

Dari Sejarah :  ari Kesadaran Albinisme Internasional: Di tahun 2013, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengadopsi Resolusi A/HRC/RES/23/13. Resolusi ini menyerukan pencegahan serangan dan diskriminasi terhadap orang dengan albinisme. Selanjutnya pada 18 Desember 2014, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi A/RES/69/170 yang menetapkan 13 Juni sebagai *Hari Kesadaran Albinisme Internasional (International Albinism Awareness Day - IAAD), dan pertama kali dirayakan 13 Juni 2015. Peringatan ini adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran dan perlindungan hak asasi manusia bagi individu dengan albinisme di seluruh dunia.

Popular Posts