JERITAN LAUT, JERITAN BUMI RAJA AMPAT


Raja Ampat, sebuah nama yang menggema di tengah kita hari-hari ini. Nama yang sangat strategis bukan hanya wisatanya, tetapi juga kekayaan dan kualitas keanekaragaman hayatinya, dan terutama : sumber daya tambangnya. Dan meski kemarin (10 Juni 2025) Presiden Prabowo mencabut ijin 4 perusahaan pertambangan yang beroperasi di situ, namun yang dicabut hanyalah perusahaan-perusahaan yang ada di fase ekplorasi, sementara banyak perusahaan yang sudah melakukan eksploitasi sama sekali belum dicabut.

Raja Ampat adalah permata samudra, situs lingkungan yang secara global diakui sangat penting, dengan daya keanekaragaman hayati yang tak tertandingi di planet ini. Terletak di Papua Barat, Indonesia, wilayah ini dijuluki "Jantung Segitiga Terumbu Karang" karena konsentrasi kehidupan lautnya yang tiada tara (AIMS, 2017; WWF). Dan kini, Raja Ampat bukan hanya menghadapi ancaman, tetapi telah ada di tengah-tengah kehancuran ekologis yang tak terpulihkan (siapa yang bisa memulihkan bekas tambang ?). Kita didesak untuk terus mendesak. Kita diuji ketahanan juang dan integritas spiritual kita sebagai penjaga ciptaan.

 

Raja Ampat: Sebuah Keajaiban Ciptaan yang Tak Tertandingi

Raja Ampat adalah "Taman Eden" bawah laut yang hidup, tempat keajaiban ciptaan Tuhan bersemi dengan segala kemegahannya. Keanekaragaman hayatinya sungguh tak tertandingi:

a) Surga Karang: Lebih dari 75% spesies karang dunia bersembunyi di perairannya yang jernih—sekitar 540 spesies karang keras dan total 537 spesies yang telah dikonfirmasi (AIMS, 2017; CI Indonesia). Setiap karang, sekecil apa pun, adalah bagian dari orkestrasi kehidupan yang kompleks, mereka adalah penyaring air yang luar biasa dan penopang hidup ribuan makhluk.

b) Melimpahnya Kehidupan Ikan: Kehidupan ikan Raja Ampat tak kalah memukau, dengan perkiraan berkisar dari 1.070 hingga lebih dari 1.700 spesies (AIMS, 2017; CT Atlas; WWF; UNEP). Ini menjadikan Raja Ampat rumah bagi salah satu populasi ikan paling beragam di dunia, yang dalam jumlah relatif kecil sekalipun bisa mengidentifikasi 1.320 spesies (Allen & Erdmann, 2009).

c) Ekosistem yang Lengkap: Lebih dari sekadar karang dan ikan, Raja Ampat adalah rumah bagi 60 jenis udang karang, 699 spesies moluska (CT Atlas; WWF), 15 spesies mamalia laut (WWF), dan beragam hiu, termasuk 22 jenis yang teridentifikasi, bahkan hiu "berjalan" yang unik dari Raja Ampat (Sato et al., 2021). Ia juga menjadi tempat perlindungan bagi spesies yang sangat rentan seperti penyu sisik yang terancam punah dan pari manta karang yang rentan, serta pantai peneluran terbesar di dunia untuk penyu belimbing Pasifik (CT Atlas; UNEP).

d) Harmoni Darat dan Laut: Keanekaragaman hayati Raja Ampat meluas hingga ke daratan, berkat geologinya yang rumit. Di antara lanskap karst yang memukau, tumbuh 874 spesies tumbuhan (9 endemik dan 6 dilindungi), 114 spesies herpetofauna (5 endemik, 5 dilindungi), 47 spesies mamalia (1 endemik, 3 dilindungi), dan 274 spesies burung (6 endemik, 8 dilindungi) (CI Indonesia; Pemkab Raja Ampat). Ini adalah bukti bahwa kehidupan di laut dan darat saling terkait dalam tarian ekologis yang rumit.

 

Ketahanan Alam Raja Ampat

Keajaiban ekologis Raja Ampat bukan hanya pada kelimpahan spesiesnya, tetapi juga pada ketahanannya yang luar biasa. Geologi bawah lautnya yang kompleks, terbentuk oleh aktivitas vulkanik di "Cincin Api," menciptakan habitat yang bervariasi, termasuk gundukan batu kapur dan gua bawah laut yang menawan (WWF; CI Indonesia). Wilayah ini diberkahi dengan percampuran kondisi Samudra Pasifik dan Hindia, mendorong penyebaran larva dan membentuk mosaik mikrohabitat yang kaya (CI Indonesia; WWF).

Lebih menakjubkan lagi, upwelling air dingin di area seperti Misool Tenggara, Selat Dampier, Selat Sagewin, dan Selat Bougainville memberikan ketahanan karang terhadap tekanan suhu (CI Indonesia). Karang-karang di Raja Ampat terpapar variasi suhu "luar biasa hampir 17°C" (dari 21.25 hingga 35.74°C), menunjukkan adaptasi alami yang tinggi terhadap kenaikan suhu global (WWF; NOAA). Bahkan, beberapa area dangkal dengan sirkulasi terbatas menunjukkan fluktuasi suhu harian signifikan, yang mungkin telah "pra-mengadaptasi" karang dan alga simbiotiknya untuk mentolerir suhu yang lebih tinggi, memperkuat ketahanan wilayah ini (CI Indonesia). Ini adalah bukti konkret dari bagaimana ciptaan Tuhan beradaptasi dan bertahan di tengah tantangan.

Pengakuan internasional atas nilai tak ternilai ini terwujud dalam status Raja Ampat sebagai situs Warisan Dunia UNESCO sementara (UNESCO) dan penetapannya sebagai Geopark Global UNESCO pada tahun 2023 (UNESCO, 2023). Sejak 2004, jaringan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) telah dibentuk, mencakup lebih dari 2 juta hektar (CT Atlas; IUCN), menjadi benteng pelindung vital yang mendukung pengelolaan berkelanjutan. Upaya konservasi ini, dari prosedur penyelaman yang ketat hingga promosi pendidikan laut (WWF), didukung oleh kontribusi dari tiket wisata yang masuk ke pemeliharaan Taman Laut Raja Ampat (IUCN).

Tak kalah penting, masyarakat lokal memainkan peran krusial. Mereka memiliki ikatan budaya yang kuat dan hak kepemilikan tradisional atas wilayah mereka, termasuk sistem "sasi" tradisional yang diadaptasi menjadi undang-undang untuk perlindungan jangka panjang (WWF; IUCN). Kelompok pengawasan laut yang dijalankan masyarakat (Pokmaswas) bahkan aktif berpatroli, berhasil menekan penangkapan ikan ilegal dan merusak (WWF). Ini menunjukkan bahwa perlindungan lingkungan yang paling efektif adalah ketika manusia dan alam, dengan kearifan lokal, bersatu padu.

 

Jejak Nikel di Raja Ampat: Sejarah Panjang di Balik Ancaman Terkini

Ya. Raja Ampat, surga bawah laut itu, punya sejarah panjang pertambangan nikel.

 

Gerbang Terbuka untuk Nikel di Tahun 1960-an

Pada tahun 1967, Indonesia membuka keran investasi asing di sektor pertambangan. Lewat Undang-Undang 1/1967 dan 11/1967, lahirlah skema Kontrak Karya (CoW). Aturan ini, yang menyebut investor asing sebagai "kontraktor" pemerintah, langsung memicu masuknya raksasa seperti Freeport-McMoran yang teken kontrak untuk tembaga dan emas di Grasberg, Papua.

Dua tahun kemudian, pada 1969, eksplorasi nikel sudah merambah pulau-pulau strategis di Raja Ampat, seperti Waigeo, Cyclops, Kawe, dan Gag, oleh perusahaan baja AS. Ironisnya, pada tahun yang sama, PEPERA atau "Act of Free Choice" memberikan kekuasaan penuh kepada pemerintah Indonesia atas tanah-tanah adat. Ini secara efektif memuluskan jalan bagi perluasan operasi pertambangan, termasuk pengeboran ekstensif di Pulau Gag pada tahun 1971.

 

Reformasi dan Janji Konservasi

Sejak era Reformasi 1998, pertambangan justru menjadi salah satu industri utama di Raja Ampat awal 2000-an. Meskipun UU Kehutanan Indonesia tahun 1999 sempat memberikan harapan dengan melarang penambangan terbuka di "hutan lindung", sehingga menghentikan sementara kegiatan di Pulau Gag, ini tak bertahan lama. Pada 2003, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia mengusulkan agar 22 perusahaan pertambangan diizinkan untuk melanjutkan operasinya. Dan benar saja, di tahun 2006, penambangan nikel di Pulau Kawe kembali berlanjut, meskipun protes warga dilaporkan diredam oleh militer dan polisi.

Harapan kembali muncul tahun 2011, dengan diterapkannya undang-undang moratorium untuk melindungi hutan primer dan lahan gambut, tetapi celah selalu ada. Pengecualian diberikan untuk izin-izin yang sudah ada dan program nasional yang strategis, termasuk penambangan nikel di Raja Ampat. Puncaknya, meski ada undang-undang yang melarang penambangan di pulau-pulau kecil sejak 2014, aktivitas penambangan terus bergulir. Hingga akhirnya, pada 2017, penambangan resmi dilanjutkan di Pulau Gag.

 

Indonesia, Raja Nikel Dunia, dan Ancaman bagi Raja Ampat

Hari ini, Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, menguasai 42% cadangan global (diperkirakan 55 juta metrik ton). Produksi melonjak drastis, dari 1,6 juta metrik ton pada 2022 menjadi 2,2 juta metrik ton pada 2024, dan diprediksi terus bertumbuh. Kebijakan "hilirisasi" pemerintah, yang melarang ekspor nikel mentah dan mendorong pemrosesan di dalam negeri untuk menambah nilai serta menciptakan lapangan kerja, turut memicu peningkatan aktivitas ini. Rencana ambisius membangun 53 smelter pada 2024, dengan banyak di antaranya berlokasi kurang dari 3,5 km dari garis pantai, menunjukkan intensitas pengembangan ini.

Dampaknya? Aktivitas penambangan nikel telah meningkat tajam di Raja Ampat. Lubang-lubang tambang baru kini terlihat di setidaknya empat pulau, dengan total luas izin pertambangan nikel mencapai lebih dari 22.420 hektare (55.400 are). Kerusakan yang terjadi pun nyata: penggundulan hutan skala besar telah diamati (misalnya, 263,24 hektare ditebang Pulau Gag, 299 hektare di Pulau Kawe, dan 109 hektare di Pulau Manuran).

Mahkamah Konstitusi Indonesia melalui Putusan No. 35/PUU-XXI/2023 mengafirmasi UU No. 1 tahun 2014, telah melarang aktivitas penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Pulau Gag, mengakui kerentanan ekologis yang tinggi dan risiko kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Penelitian menunjukkan bahwa reklamasi lahan di pulau-pulau kecil jauh lebih sulit daripada di pulau-pulau besar (Purnomo et al., 2020), mempertegas bahwa kerusakan di Raja Ampat bisa bersifat permanen.

Pencemaran air dan sedimentasi dari operasi penambangan membuat perairan jernih menjadi coklat pekat, menutupi terumbu karang, mencekiknya, mengusir hewan, dan menghancurkan ekosistem laut yang vital (Forest Watch Indonesia & Auriga Nusantara, 2024). Curah hujan tinggi dan lereng curam di Raja Ampat membuat habitat pesisir sangat rentan terhadap limpasan, memperparah dampak kerusakan (Pemkab Raja Ampat). Masyarakat setempat telah melaporkan penurunan kualitas air yang mereka gunakan sehari-hari.

Penambangan juga memunculkan risiko hilangnya mata pencarian masyarakat lokal yang bergantung pada perikanan dan pariwisata, berpotensi memicu konflik sosial yang berkepanjangan (WALHI, 2023). Muncul kekhawatiran serius tentang "keadilan antar generasi," di mana generasi mendatang mungkin akan mewarisi bencana lingkungan yang tak dapat diperbaiki (WALHI, 2023). Warisan macam apa yang akan kita tinggalkan ?

 

Quo Vadis, Domine ?

Raja Ampat ditetapkan sebagai Taman Geopark Global UNESCO tahun 2023, dan aktivitas penambangan terus berlanjut. Demikianlah kita menghancurkan Taman Eden di bumi nusantara. Ironisnya lagi, dengan alasan demi teknologi hijau “baterai kendaraan listrik” yang memicu kenaikan  permintaan nikel global.  Teknologi dan industri yang seharusnya mengatasi perubahan iklim malah menghancurkan ekosistem kritis yang vital bagi kesehatan planet kita (Greenpeace Indonesia, 2024). Ya, kita mengorbankan surga keanekaragaman hayati untuk apa yang kita anggap "kemajuan" dan “kelestarian”.

"Kita lupa bahwa kita sendiri adalah debu bumi (bdk. Kej 2:7); tubuh kita terbentuk dari unsur-unsur planet ini, udaranya adalah nafas kita, airnya membentuk sebagian besar tubuh kita. Ketika Raja Ampat dihancurkan, kita tak hanya kehilangan keanekaragaman hayati, kita kehilangan bagian diri kita sendiri, bagian dari kemanusiaan kita. Tuhan kemana Engkau pergi ? Ke dalam hatimu. Dengarkanlah dia.

 

Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com

Disclamer: Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI

*Dari Sejarah : 11 Juni 1910: Jacques-Yves Cousteau Lahir. penjelajah laut, ahli kelautan, dan penemu, kontribusi Jacques-Yves Cousteau terhadap lingkungan hidup sangat besar. Lewat film-film dokumenter, buku, dan penjelajahan bawah airnya, ia membawa dunia laut ke hadapan jutaan orang, membangkitkan kesadaran akan keindahan dan kerapuhan ekosistem laut. Jacques-Yves Cousteau adalah pembela advokat gigih untuk konservasi laut dan pelopor gerakan perlindungan lingkungan laut. Tanpa penemuannya (seperti Aqua-Lung) dan ekspedisinya, pemahaman kita tentang dunia bawah laut dan urgensi melindunginya tidak akan sebesar ini.

Popular Posts