HANYA MEMBERI, TAK HARAP (PULIH) KEMBALI

 


Catatan tentang pengambilan ikan berlebih dan merusak di lautan

 1. Pengambilan ikan berlebihan

Definisi Overfishing bukan hanya "menangkap terlalu banyak ikan," tetapi eksploitasi laut secara brutal : ikan ditangkap lebih cepat daripada kemampuan populasi untuk meregenerasi diri dan mempertahankan keberadaannya. Laut seperti rekening bank ikan yang terus-menerus ditarik tanpa memberinya waktu yang cukup dan kondisi yang memungkinkan untuk bisa memulihkannya kembali. Dan bukan hanya populasi ikan itu sendiri yang terancam, seluruh keseimbangan ekosistem laut lokal dan global juga terancam, karena hancurnya rantai kehidupan di dalamnya.

Data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO, 2022) melukiskan gambaran yang suram dan memprihatinkan. Saat ini, 34% stok ikan global berada pada tingkat biologis yang tidak berkelanjutan (overfished). Angka ini meningkat drastis dari hanya 10% di tahun 1974. Ya, betul. dalam waktu kurang dari lima dekade, kita telah menekan lebih dari sepertiga sumber daya ikan dunia, hingga melampaui batas kemampuan reproduksinya. Artinya, populasi ikan ini tak lagi dapat pulih sepenuhnya jika tekanan penangkapan tidak segera dihentikan.

Lebih lanjut, 60% stok ikan lainnya berada dalam kondisi ditangkap secara maksimal (fully fished). Artinya, mereka tak bisa ditangkap lebih banyak lagi, dan ada ambang risiko tidak berkelanjutan (overfished). Perlu perubahan drastis dalam praktik penangkapan. Hanya tersisa 6% stok ikan yang ditangkap kurang dari kapasitasnya (underfished). Hanya tersisa sangat sedikit ruang untuk pertumbuhan dan pengembangan perikanan berkelanjutan. Mari kita cermati dampak sangat mendalam dari pengambilan ikan berlebih ini :

a) Penyusutan ukuran dan usia ikan: Dengan tekanan penangkapan yang tinggi, nelayan cenderung menangkap ikan yang lebih kecil dan lebih muda. Artinya, ikan tidak sempat mencapai ukuran dewasa yang optimal untuk bereproduksi, memutus siklus hidup dan mempercepat penurunan populasi (Froese, 2004).

b) Gangguan rantai makanan (kaskade trofik): Hilangnya satu spesies kunci atau predator puncak akibat pengambilan ikan berlebihan dapat memicu "kaskade trofik" yang menghancurkan seluruh jaring makanan. Penipisan populasi hiu (predator puncak) dapat menyebabkan ledakan populasi mangsanya, yang kemudian menguras sumber daya di bawahnya, menciptakan ketidakseimbangan ekologis yang kompleks dan merusak (Myers & Worm, 2003).

c) Kehilangan keanekaragaman genetik: Populasi ikan yang menyusut dan terfragmentasi/terpisah-pisah akan kehilangan keanekaragaman genetiknya. Ini membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit, perubahan iklim, dan tekanan lingkungan lainnya, mengurangi kemampuan mereka untuk beradaptasi dan bertahan hidup (Frankham, 2005).

 

2. Pengambilan ikan yang merusak

Jika overfishing identik dengan menguras seluruh sumber daya kehidupan, destructive fishing mirip senjata pemusnah massal yang menhancurkan, meratakan, dan meracuni lautan. Praktik-praktik ini bukan hanya semata-mata menangkap ikan; tetapi menghancurkan fondasi kehidupan bawah laut itu sendiri:


a) Bom ikan dan sianida:

a. Bom ikan: Metode ilegal ini menggunakan bahan peledak yang dijatuhkan ke terumbu karang atau area perikanan. Ledakan di bawah air menghasilkan gelombang kejut yang dahsyat, yang menghancurkan terumbu karang hingga menjadi puing-puing, mengubah lanskap bawah laut yang berlimpah menjadi gurun pasir. Ribuan ikan, dari yang besar hingga yang terkecil, mati dan mengapung, namun sebagian besar tenggelam dan membusuk, mencemari air. Suara ledakan yang intens juga menyebabkan kerusakan fatal pada gendang telinga dan organ internal mamalia laut seperti lumba-lumba dan paus (Kroeger et al., 2018).

b. Sianida: Sianida disemprotkan ke terumbu karang untuk membius ikan, terutama untuk perdagangan ikan hias. Tetapi racun mematikan ini tidak hanya melumpuhkan ikan; ia membunuh polip karang itu sendiri, meracuni organisme bentik lainnya, dan meninggalkan kerusakan jangka panjang yang tak terpulihkan pada ekosistem (Jones & Endean, 1976). Perkiraan menunjukkan bahwa praktik sianida telah merusak ribuan kilometer persegi terumbu karang di Asia Tenggara, wilayah yang merupakan jantung keanekaragaman hayati karang dunia.

 

b) Pukat Harimau (Bottom Trawling):

a. Metode ini menggunakan jaring besar dengan pemberat dan pintu jaring (trawl doors) yang diseret di sepanjang dasar laut, menyapu semua yang ada di jalurnya. Bayangkan sebuah traktor raksasa yang membajak padang bunga yang indah, dan meratakannya hingga menjadi gurun lumpur.

b. Kerusakan habitat fisik: Pukat harimau adalah salah satu ancaman terbesar bagi habitat dasar laut. Ia menghancurkan terumbu karang, padang lamun, spons, dan komunitas bentik (dasar laut) lainnya yang tumbuh lambat dan berfungsi sebagai habitat penting, tempat berlindung, dan area pemijahan bagi berbagai spesies. Pemulihan habitat yang rusak akibat pukat harimau bisa memakan waktu puluhan bahkan ratusan tahun (Watling & Norse, 1998).

c. Bycatch yang Mengerikan: Pukat harimau bersifat sangat tidak selektif. Diperkirakan hingga 60% dari total tangkapan pukat harimau bisa berupa tangkapan sampingan (bycatch)—spesies non-target yang tidak diinginkan seperti penyu laut, hiu, pari, mamalia laut kecil, atau ikan-ikan muda (juvenil) yang belum matang reproduksi. Spesies ini seringkali dibuang kembali ke laut, umumnya dalam keadaan mati atau sekarat, sebuah pemborosan kehidupan yang tragis (Davies et al., 2009).

 

c) Jaring Hantu (Ghost Fishing Gear):

a. Jaring ikan, perangkap, dan tali pancing yang hilang, terlepas, atau sengaja dibuang ke laut terus "menangkap" ikan dan hewan laut lainnya selama bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun. Ini adalah bentuk destructive fishing pasif yang mematikan. Jutaan ton ghost gear telah terakumulasi di lautan (Macfadyen et al., 2009), terus-menerus menjerat dan membunuh mamalia laut, burung laut, penyu, dan ikan, yang berakhir mati karena kelaparan, sesak napas, atau cedera parah.

 

3. Harga yang Harus Dibayar: Konsekuensi Ekologis, Sosial, dan Ekonomi

Dampak dari pengambilan ikan berlebihan (overfishing) dan pengambilan ikan yang merusak (destructive fishing) tak berhenti pada populasi ikan. Ia menciptakan efek domino yang merusak seluruh ekosistem dan mengancam kesejahteraan manusia dalam skala global:

a) Krisis ketahanan pangan global: Runtuhnya stok ikan mengancam mata pencarian sekitar 3,3 miliar orang di seluruh dunia yang sangat bergantung pada makanan laut sebagai sumber protein utama (FAO, 2022). Krisis ketahanan pangan dapat terjadi, meningkatkan harga makanan laut di pasar, dan memperburuk malnutrisi serta kemiskinan di komunitas nelayan, yang seringkali menjadi yang paling rentan dan terpinggirkan.

b) Kerugian ekonomi fantastis: _IUU Fishing (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing, penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai peraturan yang berlaku(,seringkali menggunakan metode merusak. Ia juga menyebabkan kerugian finansial yang sangat besar bagi negara-negara (diperkirakan mencapai USD 23-50 miliar per tahun secara global) karena hilangnya pendapatan dari pajak dan lisensi, serta kerusakan pada industri perikanan legal (Dialogue Earth, n.d.). Praktik ini juga membebani anggaran negara untuk pengawasan dan penegakan hukum.

c) Pergeseran ekosistem dan ketidakstabilan: Pengambilan ikan berlebihan dapat menyebabkan pergeseran ekosistem secara dramatis. Di beberapa wilayah yang mengalami overfishing parah, ekosistem bergeser dari dominasi ikan ke dominasi ubur-ubur atau alga. Tanpa predator alami dan pesaing makanan, populasi ubur-ubur meledak, mengganggu rantai makanan, menyumbat jaring nelayan, dan merusak ekosistem (Richardson et al., 2009). Ekosistem yang tertekan juga lebih rentan pada perubahan iklim dan wabah penyakit.

d) Percepatan Perubahan Iklim: Lautan yang sehat adalah penyerap karbon yang vital. Degradasi habitat karbon biru seperti terumbu karang dan padang lamun (yang sangat efisien dalam menyimpan karbon) akibat metode penangkapan ikan yang merusak mengurangi kapasitas laut untuk menyimpan karbon, secara tidak langsung memperburuk perubahan iklim (Macreadie et al., 2021).

 

4. Memutus rantai kematian samudera

Meskipun suram, meski terlambat, meski perlahan, tetap ada jalan menuju pemulihan. Bagaimanapun juga kita tidak bisa tinggal diam, menjadi saksi bisu kehancuran; kita harus bertindak :

a) Pengelolaan perikanan berkelanjutan yang tegas:

a. Kuota penangkapan berbasis ilmiah: Menetapkan dan menegakkan kuota penangkapan ikan yang didasarkan pada data ilmiah populasi ikan terbaru, memastikan bahwa penangkapan tidak melebihi kemampuan regenerasi stok (Hilborn & Walters, 1992).

b. Perluasan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP): Memperluas area yang dilindungi secara ketat (Marine Protected Areas/MPAs) yang ditegakkan dengan baik. Studi telah menunjukkan bahwa MPA dapat secara efektif memulihkan biomassa ikan di dalamnya dan menciptakan efek "spill-over", yakni ketika ikan yang sehat dan berlimpah berenang keluar dari area terlindung ke area penangkapan, menguntungkan nelayan di sekitarnya (Roberts et al., 2001).

c. Alat tangkap selektif dan ramah lingkungan: Mendorong dan mensubsidi penggunaan alat tangkap yang meminimalkan tangkapan sampingan (bycatch) dan kerusakan habitat (misalnya, kail melingkat (circle hooks) untuk mengurangi penangkapan tidak disengaja dari penyu, atau alat yang dilengkapi Celah pelolosan (escape panels) untuk ikan non-target).

 

b) penegakan hukum yang tegas melawan penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai peraturan (IUU fishing):

a. Teknologi pemantauan canggih: Memanfaatkan satelit, drone, dan sistem AIS (Automatic Identification System) untuk memantau aktivitas kapal secara waktu nyata (real time) dan mendeteksi aktivitas ilegal.

b. Kolaborasi internasional: Membangun kemitraan yang kuat antarnegara untuk berbagi informasi intelijen, patroli bersama, dan penuntutan lintas batas terhadap sindikat penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai peraturan  (IUU Fishing).

c. Penalti yang berat: Memberlakukan hukuman finansial dan pidana yang signifikan bagi pelaku penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai peraturan untuk menciptakan efek jera yang kuat.

 

c) Peran konsumen dan masyarakat sipil:

a. Pilihan konsumen yang bertanggung jawab: Mendorong masyarakat untuk memilih ikan dari sumber yang berkelanjutan dan bersertifikasi (misalnya, melalui sertifikasi MSC - Marine Stewardship Council), memberikan tekanan ekonomi pada praktik yang tidak bertanggung jawab.

b. Edukasi dan kampanye kesadaran: Meningkatkan pemahaman publik tentang dampak pengambilan ikan berlebihan dan pengambilan ikan merusak melalui program edukasi yang berkelanjutan.


Abdul Karim Laing adalah nelayan yang akrab dengan praktik penangkapan ikan merusak, termasuk penggunaan bom ikan, di wilayah Mabul, surga bawah laut di Sabah, Malaysia. Ia menyaksikan sendiri bagaimana terumbu karang di perairannya hancur, ikan-ikan makin sulit dijumpai, dan mata pencarian komunitasnya terancam. Juga, tentu saja, masa depan anak dan cucunya. Digerakkan oleh kesadaran ini, Ia mendedikasikan hidupnya untuk memulihkan dan menjaga terumbu karang di sekitar Mabul. Ia aktif bergabung dengan upaya konservasi lokal, melakukan patroli rutin untuk mencegah penangkapan ikan ilegal, dan melaporkan pelanggaran. Ia menjadi "mata dan telinga" bagi laut, membantu mengidentifikasi dan melindungi area-area rentan, serta mendidik nelayan lain tentang pentingnya praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan. Kisah transformasinya menarik perhatian global dan didokumentasikan oleh banyak organisasi konservasi, termasuk The Turtle Foundation. Kisah Abdul Karim Laing adalah kisah kita-kita, jika dan hanya jika, kita bersedia mendengarkan dan bergerak dari hati kita.  

 

Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com

Disclamer: Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI

Dari Sejarah : KTT Bumi di Rio de Janeiro (Rio Earth Summit) Berakhir. Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED)/KTT Bumi Rio yang dimulai 3 Juni resmi berakhir pada 14 Juni 1992. KTT ini adalah salah satu peristiwa lingkungan paling penting dalam sejarah. KTT ini menghasilkan dokumen-dokumen fundamental termasuk: Agenda 21(Rencana aksi komprehensif untuk pembangunan berkelanjutan di abad ke-21), Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan (Serangkaian prinsip yang memandu pembangunan berkelanjutan), Pernyataan Prinsip Hutan (Panduan untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan), Penandatanganan konvensi-konvensi penting (misal : Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim/UNFCCC dan Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati/CBD). KTT ini adalah puncak dari upaya diplomasi lingkungan dan menandai komitmen global terhadap keberlanjutan.

Popular Posts