DUA RIBU LIMA PULUH
Kisah lautan, kepada kita yang, mungkin, sama sekali tak mencintainya
Di Pulau-pulau Pasifik, Tangaroa dan Maui telah mati. Tidak ada lagi Charybdis atau Scylla di lautan Yunani. Kidung kematian Siren pun tak lagi ada. Mereka telah lama mati kehilangan cinta.
Tahun 2050. Fajar menyingsing di horizon, tak ada lagi kilauan biru jernih lautan yang memukau. Langit terasa berat, udara berbau aneh: campuran antara aroma amis, plastik yang terurai, dan sesuatu yang pahit—seperti bau kematian yang perlahan. Lautan, "paru-paru biru" dunia, telah diserang, dirusak, dicekik, diracuni hingga ke titik yang nyaris tak lagi bisa dikenali. Ini bukan samudra yang kita kenal. Ini samudera yang hancur karena kita kehilangan daya cinta.
Dua ribu lima puluh. Tentang samudera yang kehilangan cinta. Sebuah kisah kepada kita, bahwa cinta adalah mata air kehidupan. Dan apakah kita membutuhkan tragedi dan kematian itu, untuk bisa mengerti bahwa kita harus berjuang untuk terus mencintai, demi mempertahankan kehidupan ?
1. Lautan yang Plastik
Dua ribu lima puluh. Di pantai, kau, aku berdiri menatap cakrawala. Pantai kita, ya pantai masa kanak-kanak tempat kita dulu berlarian di lembut pasir putihnya kini menjelma indah menjadi gumuk-gumuk sampah plastik yang mempesona : terhampar sejauh mata memandang, aneka rupa, lusuh, kumuh. Setiap kali melangkah, kaki-kakimu bertemu remahan plastik yang tergerus, botol-botol remuk, kantong-kantong robek, dan pecahan styrofoam yang memutih. Bau minyak, cairan kimia, dan pembusukan menyengat menampar hidungmu, bercampur dengan desahan angin yang membawa remah-remah microbeads dari produk perawatan diri yang entah dari mana. Di pantai-pantai nusantara, di pantai-pantai dunia, butiran pasir dan bebatuan perlahan tapi pasti berganti dengan debu plastik dan rongsokan.
Miliaran ton plastik yang bocor mengalir ke lautan sejak awal milenium telah terkonsolidasi menjadi struktur yang permanen (Jambeck et al., 2015). Tak sekadar tumpukan sampah, kini ada "lautan plastik" raksasa—seluas benua, seperti pusaran sampah Pasifik Utara (Great Pacific Garbage Patch) yang membengkak hingga _ tiga kali lipat negeri Prancis_ (The Ocean Cleanup, 2022). Puing-puing plastik mengambang bermeter-meter tebalnya, menciptakan daratan buatan manusia yang tak beraturan (Eriksen et al., 2014).
Dan seperti dulu kita di masa bocah, melompatlah kawan ! Menyelamlah ke kedalaman samudera. Biarpun engkau berdarah Bajau atau Moken, matamu tak mungkin lagi jernih menatap. Laut keruh kumuh dipenuhi oleh jutaan mikroplastik dan nanoplastik yang berkilauan seperti salju beracun. Setiap liter air mengandung partikel plastik tak terhitung banyaknya,. Bercengkramalah engkau dengan pecahan ban mobil atau botol-botol kemasan yang melayang-layang. Sementara padang lamun telah berganti sobekan-sobekan kain, plastik, dan jala, juga serat sintetis dari pakaian yang tak terurai. Partikel-partikel ini kini telah melampaui jumlah zooplankton di berbagai area (Cózar et al., 2014), menghalangi sinar matahari hingga ke kedalaman, menciptakan kegelapan yang suram di kedalaman yang seharusnya berlimpah cahaya. Baling-baling kapal harus terus-menerus dibersihkan dari jaring-jaring hantu yang melilit, sisa-sisa industri perikanan yang runtuh dan kini menjadi perangkap mematikan yang mengambang. Dan para nelayan, jika ada yang masih melaut, tak lagi bisa menemukan ikan, melainkan hanya puing-puing plastik dalam jaring mereka. Panen yang menyedihkan dan jelas tak bisa dimakan. Dan, bahkan di dasar laut terdalam, di palung-palung samudra yang harusnya tak tersentuh, timbunan plastik dan rongsokan telah ditemukan, menutupi sedimen dan menghancurkan habitat bentik (dasar laut) yang rapuh (Jamieson et al., 2020).
Dua ribu lima puluh. Tentang samudera yang kehilangan cinta. Sebuah kisah kepada kita, bahwa cinta adalah mata air kehidupan. Dan apakah kita membutuhkan tragedi dan kematian itu, untuk bisa mengerti bahwa kita harus berjuang untuk terus mencintai, demi mempertahankan kehidupan ?
2. Kehidupan yang Punah dan Sunyi
Tahun 2050. Keanekaragaman hayati laut yang dulu menjadi salah satu keajaiban terbesar planet ini, runtuh dengan dramatis. Kesunyian yang menakutkan menyelimuti dunia bawah laut.
a) Terumbu Karang: Terumbu karang menjadi kuburan kapur yang memutih di bawah lapisan lendir plastik. Ekosistem terumbu karang, pusat kehidupan bawah laut yang pernah berdenyut dengan warna dan kehidupan, kini hanyalah kuburan kapur yang memutih, ditutupi oleh alga kotor dan plastik yang melekat erat. Gelombang panas laut yang ekstrem, yang kini terjadi setiap tahun dengan frekuensi dan intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya (IPCC, 2019), menyebabkan pemutihan karang massal yang tak terpulihkan/ireversibel. Suhu permukaan laut meningkat sedemikian rupa hingga karang-karang tak bisa lagi pulih dari tekanan termal, mencapai rata-rata Degree Heating Weeks (DHW) di atas 8°C di sebagian besar wilayah tropis (NOAA Coral Reef Watch, proyeksi 2050). Lebih buruk lagi, pengasaman/asidifikasi samudra—yakni pH laut menurun drastis karena penyerapan karbon dioksida berlebih—telah melarutkan kerangka kalsium karbonat mereka (Doney et al., 2009). Organisme pembentuk cangkang seperti pteropoda, yang menjadi dasar rantai makanan, berjuang untuk bertahan hidup, cangkang mereka melarut sebelum sempat terbentuk di perairan yang semakin korosif. Tanpa karang, 25% spesies laut yang bergantung padanya telah lenyap, memicu "kaskade trofik/ Trophic cascade" (efek berantai yang terjadi dalam rantai makanan, saat predator di tingkat trofik atas memengaruhi kelimpahan atau perilaku organisme di tingkat trofik yang lebih rendah atau sebaliknya) yang menghancurkan seluruh jaring makanan dan ekosistem yang kompleks (Pandolfi et al., 2003)
b) Ikan, dari berlimpah menjadi terancam punah di lautan kosong. Lautan yang dulu berlimpah ikan, kini sepi. Stok ikan komersial global, seperti tuna, kod, dan salmon, berkurang hingga 70-90% dari tingkat tahun 2000-an (FAO, 2022, proyeksi skenario terburuk). Penangkapan ikan berlebihan yang tak terkendali, diperparah oleh IUU fishing (penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur) yang semakin putus asa, telah menghabiskan sebagian besar populasi. Ikan-ikan yang tersisa seringkali kecil, sakit, dan dipenuhi mikroplastik di saluran pencernaan mereka, mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi, dan daya tahan tubuh mereka (Rochman et al., 2013). Nelayan, yang selama berabad-abad bergantung pada laut, telah kehilangan mata pencarian mereka, memaksa mereka berpindah ke daratan yang sudah padat dan terbebani, menambah tekanan pada sumber daya darat. Beberapa spesies kunci, seperti ikan haring dan sarden, yang menjadi makanan bagi predator yang lebih besar, mengalami keruntuhan populasi regional, memicu krisis yang lebih luas di ekosistem perikanan.
c) Mamalia Laut dan Burung Laut, mengalami kematian tragis dan hilangnya harmoni Kisah-kisah tragis tentang paus yang mati terdampar dengan perut penuh berton-ton sampah plastik, atau lumba-lumba yang terlilit jaring hantu, adalah pemandangan sehari-hari. Jutaan burung laut, yang dulu menghiasi cakrawala telah musnah; mereka mati kelaparan dengan perut yang kenyang oleh potongan-potongan plastik berwarna-warni yang mereka kira makanan (Roman et al., 2019). Keberadaan spesies-spesies karismatik ini, yang merefleksikan keajaiban ciptaan, kini hanya ada dalam kenangan dan gambar-gambar suram. Suara-suara satwa laut, echolokasi paus dan lumba-lumba yang dulu mengisi kedalaman kini hampir tak terdengar, digantikan oleh kesunyian yang pedih.
d) Perubahan Mikroorganisme, _Paru-paru yang sakit dan lautan yang mati. Di tingkat mikroskopis, perubahan yang tak terlihat tapi dahsyat sedang terjadi. Populasi fitoplankton, yang menghasilkan hingga 50% oksigen di Bumi dan menyerap karbon dioksida, terganggu parah oleh pemanasan, asidifikasi, dan mikroplastik (Field et al., 1998; Cole et al., 2013). Beberapa studi memproyeksikan penurunan hingga 15% pada produksi fitoplankton global di bawah skenario emisi tinggi (Bopp et al., 2013). Artinya, _produksi oksigen global menurun_ sementara kapasitas laut dalam menyerap karbon dioksida juga berkurang, menciptakan situasi yang mempercepat perubahan iklim. Mikrobioma laut, yang krusial untuk siklus nutrisi dan kesehatan ekosistem, juga berubah drastis dengan peningkatan populasi mikroba yang tahan polusi dan penurunan spesies esensial lainnya.
e) Zona Mati Meluas: gurun bawah air yang menelan kehidupan. Dengan peningkatan suhu laut dan masuknya nutrisi berlebih dari daratan (polusi pupuk dan limbah), zona mati (hipoksia dan anoksia) meluas secara signifikan, terutama di perairan pesisir dan laut dalam yang stagnan. Area-area ini, yang kekurangan oksigen secara parah, menjadi gurun bawah air dengan hampir tidak ada kehidupan laut yang dapat bertahan. Ikan-ikan terpaksa meninggalkan habitat tradisional mereka, sementara organisme bentik mati massal, meninggalkan dasar laut yang kosong dan berbau busuk.
Dua ribu lima puluh. Tentang samudera yang kehilangan cinta. Sebuah kisah kepada kita, bahwa cinta adalah mata air kehidupan. Dan apakah kita membutuhkan tragedi dan kematian itu, untuk bisa mengerti bahwa kita harus berjuang untuk terus mencintai, demi mempertahankan kehidupan ?
3. Kehidupan di Ambang Kematian
Laut yang mati suri merayap ke daratan.
Setiap aspek hidup manusia satu demi satu menjelang kematian :
a) Krisis pangan dan air bersih global yang belum pernah terjadi. Runtuhnya perikanan memicu krisis ketahanan pangan global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Miliaran orang, terutama di negara-negara pesisir berkembang yang sangat bergantung pada laut, menghadapi kelaparan dan malnutrisi parah. Persaingan atas sumber daya darat yang terbatas memicu konflik sosial dan politik. Kekerasan dan peperangan berebut sumber daya dasar penopang kehidupan pun meningkat tajam. Di pesisir, kenaikan permukaan air laut mengalami percepatan, intrusi air asin ke dalam akuifer/sistem aliran alami tanah, dan banjir rob permanen merampas lahan pertanian dan sumber air bersih. Jutaan pengungsi iklim yang putus asa mencari perlindungan (IPCC, 2022). Kota-kota pesisir rawan banjir telah ditinggalkan, menjadi kota hantu yang tenggelam perlahan.
b) Kesehatan manusia versus ancaman tak terlihat dalam tubuh manusia. Konsumsi ikan dan makanan laut lainnya berarti kita telah mengonsumsi mikroplastik dan nanoplastik secara rutin. Riset di tahun 2050 jelas menunjukkan bahwa partikel-partikel nano ini dapat menembus sel, melintasi sawar darah otak, dan berakumulasi di organ vital seperti hati, ginjal, dan bahkan plasenta, memicu inflamasi kronis, kerusakan organ, gangguan endokrin, dan peningkatan risiko kanker (Chang et al., 2020; Prata et al., 2020). Udara yang kita hirup di kota-kota pesisir penuh dengan serat mikroplastik dari laut yang kotor, menyerang sistem pernapasan kita, menyebabkan masalah pernapasan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bayi-bayi lahir dengan cacat perkembangan akibat dari paparan plastik sejak dalam kandungan.
c) Runtuhnya ekonomi dan budaya maritim, bangsa-bangsa kehilangan identitas. Industri pariwisata bahari musnah sepenuhnya, menyisakan jutaan orang tanpa pekerjaan. Pelabuhan-pelabuhan sepi, kapal-kapal nelayan terbengkalai, masyarakat pesisir yang dulunya berbudaya kaya tercerabut dari akar identitas mereka. Kehilangan tradisi, kehilangan pengetahuan yang diturunkan lintas generasi. Biaya penanganan bencana alam meningkat drastis akibat hilangnya benteng alam seperti mangrove dan terumbu karang. Ekonomi negara-negara pesisir pun lumpuh, ketidakstabilan politik dan kerusuhan sosial terjadi dimana-mana.
Dua ribu lima puluh. Tentang samudera yang kehilangan cinta. Sebuah kisah kepada kita, bahwa cinta adalah mata air kehidupan. Dan apakah kita membutuhkan tragedi dan kematian itu, untuk bisa mengerti bahwa kita harus berjuang untuk terus mencintai, demi mempertahankan kehidupan ?
Dua ribu lima puluh. Tidak ada lagi Charybdis atau Scylla. Kidung kematian Siren pun tak lagi ada. Mereka telah lama mati kehilangan cinta.
Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com
Disclamer:Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI
Dari Sejarah : *Hari Anti Pekerja Anak Internasional (World Day Against Child Labour), diinisiasi oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) sejak tahun 2002 untuk meningkatkan kesadaran akan hal ini dan memperkuat dampak mengatasinya. Tanggal ini dipilih bertepatan dengan penerapan Konvensi ILO No. 182, tentang bentuk-bentuk terburuk pekerjaan anak. Tema global 2025 adalah “Kemajuan sudah jelas, tetapi masih banyak yang harus dilakukan: mari kita percepat upaya!”, tema ini dipilih untuk mengapresiasi kemajuan-kemajuan yang dicapai dan untuk memperkuat aksi untuk memenuhi target global penanganan pekerja anak.