AWAL YANG RENDAH HATI


Setelah berjam-jam spekulasi dan penantian yang menegangkan, cerobong asap Sistina akhirnya mengepulkan asap putih. Dunia tak sabar menanti sosok yang akan memimpin lebih dari satu miliar umat Katolik. Ketika Kardinal Protodiakon Jean-Louis Tauran mengumumkan "Habemus Papam," dan menyebut nama Kardinal Jorge Mario Bergoglio, kita semua terkejut. Sosok yang relatif tak dikenal di luar lingkaran internal Vatikan, Yesuit dari Argentina, kardinal yang sederhana.

Saat ia muncul di balkon Basilika Santo Petrus, ia tak mengenakan jubah kepausan yang megah, ia memilih mengenakan jubah putih sederhana. Kotbahnya juah dari formal. Ia menyapa kerumunan di lapangan St. Petrus dan seluruh dunia dengan kata-kata sederhana: 

_ "Saudara-saudara, selamat malam. Anda tahu bahwa tugas konklaf adalah memilih uskup untuk Roma. Tampaknya saudara-saudaraku para kardinal menjelajah hampir ke ujung dunia untuk mencarinya. Namun demikianlah. Saya berterima kasih kepada warga dioses Roma atas uskupnya. Terima kasih."_

"Pertama-tama, saya ingin mendoakan uskup emeritus Benediktus XVI. Marilah kita semua berdoa baginya, marilah kita berdoa baginya sehingga Tuhan memberkatinya dan Bunda Maria melindunginya." (Paus lantas berdoa bersama massa dalam bahasa Italia).

"Sekarang marilah kita lanjutkan perjalanan ini, uskup dan umat, uskup dan umat, perjalanan Gereja [Katolik] Roma, yang memimpin seluruh gereja dalam amal, perjalanan persaudaraan, cinta, kepercayaan di antara kita. Mari kita selalu berdoa demi kita, satu sama lain, mari kita berdoa bagi seluruh dunia sehingga akan terjalin persaudaraan. Saya berharap perjalanan Gereja yang kita mulai hari ini, di mana kardinal vikaris saya yang mendampingi saya dan membantu saya, akan bermanfaat bagi pembinaan keimanan kota yang indah ini."

"Kini saya akan memberkati Anda, namun pertama-tama saya ingin meminta tolong. Sebelum uskup memberkati umatnya, saya minta Anda berdoa kepada Tuhan agar Dia memberkati saya. Ini adalah doa umat yang meminta pemberkatan dari para uskup mereka. Dalam hening, marilah kita berdoa demi Anda dan saya."

Permintaan ini, seorang paus baru meminta berkat dari umatnya, adalah sebuah isyarat revolusioner yang meruntuhkan hierarki kaku dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari umat yang dilayani. Sebuah penegasan teologis yang mendalam dan sederhana tentang hakikat pelayanan dalam kepemimpinan Gereja.

Diucapkan dalam bahasa Italia dengan aksen Argentina yang khas, kata-kata ini begitu personal dan langsung, melenyapkan jarak protokoler pemisah paus dan umat. Pemilihan seorang paus dari luar Eropa, dengan latar belakang pastoral yang kuat di tengah kemiskinan Amerika Latin, menjadi angin segar dan potensi untuk perubahan bagi seluruh Gereja. 

Ya, situasi di Vatikan saat itu dipenuhi dengan berbagai emosi. Pengunduran diri Benediktus XVI yang tak terduga telah menciptakan ketidakpastian dan harapan. Ada harapan akan pembaharuan dan jawaban atas berbagai tantangan yang dihadapi Gereja, termasuk skandal pelecehan seksual dan isu-isu tata kelola internal. Dan awal yang rendah hati dan sederhana ini, menjanjikan banyak hal di tengah kita. 


"Uskup Roma": Tentang Pelayanan dan Persaudaraan

Penekanan Paus Fransiskus pada frasa "Uskup Roma" dalam pidato perdananya memiliki arti penting:

1. Kembali ke Akar Gereja Awal: Gelar "Uskup Roma" adalah gelar historis tertua bagi Paus. Sebelum perkembangan hierarki dan gelar kepausan yang kompleks, pemimpin Gereja di Roma dikenal sebagai uskup kota tersebut. Dengan menggunakan gelar ini, Paus Fransiskus secara implisit mengingatkan Gereja akan akarnya dalam komunitas lokal dan pelayanan pastoral. Sebuah pengingat bahwa sebelum menjadi pemimpin Gereja universal, Paus adalah gembala bagi umat di Keuskupan Roma.

2. Kesederhanaan dan Kerendahan Hati: Memilih gelar yang lebih sederhana daripada "Sri Paus," "Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik," atau gelar-gelar lainnya menunjukkan kerendahan hati dan keinginan untuk dekat dengan umat. Ini kontras dengan citra kekuasaan dan kemegahan yang sering diasosiasikan dengan kepausan. Paus Fransiskus ingin dilihat, pertama dan terutama, sebagai seorang pelayan, seorang saudara dalam Kristus.

3. Penekanan pada Pelayanan (Servitium): Dalam teologi Katolik, peran Uskup secara fundamental adalah pelayanan. Sebagai Uskup Roma, Paus Fransiskus menekankan otoritasnya harus dipahami dalam konteks pelayanan kepada seluruh Gereja dan kepada dunia. Sejalan dengan pesan Tuhan Yesus tentang kepemimpinan sebagai pelayanan (Matius 20:25-28), ia mengingatkan dirinya sendiri dan seluruh Gereja bahwa tugas utama seorang pemimpin adalah melayani, bukan dilayani.

4. Solidaritas dengan Gereja Lokal: Lewat penekanannya sebagai Uskup Roma, Paus Fransiskus memberi pesan pentingnya Gereja-Gereja lokal dan peran para uskup di seluruh dunia. Ia menunjukkan solidaritas dengan para uskup sebagai rekan-rekannya dalam pelayanan penggembalaan umat Allah. Sebuah visi tentang Gereja yang sinodal, tempat semua anggota, termasuk Paus, berjalan bersama dalam mendengarkan Roh Kudus dan melayani umat.


Bergoglio sebagai Bergoglio

1. Awal Kehidupan dan Pembentukan Diri di Argentina

Lahir di Buenos Aires pada tahun 1936 dari keluarga imigran Italia, Jorge Mario Bergoglio tumbuh dalam lingkungan kelas pekerja. Pengalaman hidup dalam keluarga sederhana dan menyaksikan dinamika sosial dan ekonomi Argentina sejak usia muda membentuk kepekaan pada ketidakadilan dan penderitaan. Sebelum memasuki seminari, ia sempat bekerja sebagai teknisi kimia dan bahkan penjaga klub malam. Pengalaman-pengalaman ini kelak mewarnai perspektifnya sebagai seorang pemimpin Gereja : empati yang besar pada realitas kehidupan umatnya.


2. Panggilan Jesuit dan Pembelajaran Spiritual yang Mendalam:

Di usia 21 tahun, Bergoglio merasakan panggilan yang kuat untuk mengikuti Kristus dalam Serikat Yesus. Keputusannya ini membawanya pada formasi spiritual dan intelektual yang panjang, ciri khas pendidikan Jesuit. Ia mendalami teologi, filsafat, dan humaniora, serta terlibat dalam berbagai karya kerasulan, termasuk mengajar dan melayani di komunitas-komunitas yang membutuhkan. Spiritualitas Ignatian, dengan penekanannya pada discernment (pembedaan roh), menemukan Allah dalam segala hal, dan pelayanan yang aktif, menjadi DNA rohani dan fondasi bagi pandangannya tentang kepemimpinan dan Gereja. Masa formasinya sebagai Jesuit, termasuk periode formatio melalui keterlibatan langsung dalam karya pastoral, menanamkan dalam dirinya keasdaran perlunya gembala yang dekat dengan umat.


3. Kepemimpinan di Tengah Realitas Sosial Argentina

Perjalanan Bergoglio dalam hierarki Gereja Argentina diwarnai dengan gaya kepemimpinan yang khas: sederhana, dekat dengan umat, dan berani menyuarakan keadilan. Sebagai Uskup Auksilier dan kemudian Uskup Agung Buenos Aires, ia memilih tinggal di apartemen sederhana daripada kediaman uskup yang mewah, ia menggunakan transportasi umum, dan sering mengunjungi serta melayani langsung komunitas-komunitas miskin di villas miserias (perkampungan kumuh).

Ia berdedikasi secara khusus pada para curas villeros (pastor-pastor kampung), para imam yang melayani di perkampungan kumuh. Ia memberikan dukungan kuat kepada mereka, mengunjungi mereka di tengah kondisi yang sulit, dan menjadikan pelayanan kepada kaum miskin sebagai prioritas utama keuskupannya. Ia jelas berpihak kepada mereka yang terpinggirkan dan punya keberanian menghadapi ketidakadilan struktural. Menurut laporan dan kesaksian, ia tidak hanya memberikan bantuan materi, tetapi juga mendengarkan, menghibur, dan memberikan harapan kepada mereka yang seringkali dilupakan.

Saat krisis ekonomi Argentina awal tahun 2000-an, Bergoglio menunjukkan kepemimpinan yang berani. Ia mengkritik korupsi dan ketidakadilan ekonomi, membela hak-hak kaum miskin dan pengangguran, dan mendorong Gereja untuk menjadi suara bagi mereka yang tidak didengar. Sikapnya ini mendapatkan respek tetapi juga menimbulkan kontroversi. Yang jelas, ia tak takut mengambil sikap moral dan membela martabat manusia, terutama mereka yang paling rentan.


4. Kehidupan Pribadi yang Sederhana

Bahkan sebelum menjadi Paus, gaya hidup pribadi Bergoglio mencerminkan kesederhanaan yang luar biasa. Ia dikenal sebagai pria yang rendah hati, tidak tertarik pada kemewahan, dan memiliki hubungan yang tulus dengan orang-orang di sekitarnya. Kisah-kisah tentang kebiasaannya memasak sendiri, menggunakan transportasi umum, dan mempertahankan hubungan persahabatan yang mendalam dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, memberi gambaran tentang seorang pemimpin yang membumi dan otentik. Kesederhanaan ini bukan taktik atau citra yang dibangun, melainkan integral dalam kepribadian dan spiritualitasnya.

Kisah Jorge Mario Bergoglio sebelum menjadi Paus Fransiskus adalah kisah yang kaya akan inspirasi dan kekuatan. Seorang pria yang dibentuk oleh pengalaman hidup yang nyata, spiritualitas, dan komitmen pada keadilan dan pelayanan. Momen-momen dalam hidupnya di Argentina bertutur banyak kepada kita, tentang apa yang ia bawa ke Takhta Petrus, dan kepada hati kita : iman yang otentik, lugas, dan berani terlibat memperjuangkan Kerajaan Allah di bumi.


Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com

Disclamer: Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI

Dari Sejarah 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional melalui Keputusan Presiden RI Nomor 316 Tahun 1959 pada tanggal 16 Desember 1959, dipilih karena hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara (Raden Mas Soewardi Suryaningrat), perintis pendidikan nasional. Penekanannya pada harmoni dengan alam ("kodrat alam"), pendidikan holistik yang menghargai kearifan lokal, dan prinsip "Among" yang mengandung nilai menjaga dan mengasihi, secara implisit mendukung pembentukan karakter yang peduli terhadap lingkungan.

Popular Posts