Resensi Film: “La La Land”, Pantang Mundur Mengejar Mimpi Berkat Orang Lain

KATA orang, terutama para motivator, sukses itu tak jarang terjadi karena mimpi. Dengan ‘bermimpi’ tentang rencana masa depan, maka orang dimotivasi dari dalam untuk meraih ‘mimpi besar’ tersebut.  Namun, para motivator kadang melupakan satu hal penting di sini. Yakni, seberapa kuat orang mengejar mimpi, memotivasi dirinya menempuh jalan panjang demi mengejar mimpi tersebut?
Film anyar bertitel La La Land mengajari satu hal penting dimana para motivator sering melupakannya: dorongan moril orang lain. Persistensi manusia mengejar mimpi tak jarang melemah, ketika dia menubruk tembok dan menemui kegagalan. Namun, berkat bantuan dorongan moril kawan atau anggota keluarga, motivasi orang  mengejar mimpi itu akan lebih bisa bertahan lama, lebih ‘tahan banting’ ketika adanya sokongan dorongan motivasi dari orang lain.
Dalam hidup rohani pun, mitra diskusi untuk memompa semangat mengejar mimpi itu menjadi penting. Itulah sebabnya, dalam pembinaan orang lalu muncul apa yang disebut ‘mentor’ atau ‘bapa rohani’ yang bertujuan ‘memperjelas’ masalah, memurnikan motivasi, membuat hal-hal subjektif menjadi objektif.
Film La La Land mengajari hal itu: penting adanya mitra diskusi dalam mengejar mimpi yang di sini dimaknai sebagai kesuksesan meraih karier sesuai passion-nya. Tanpa kehadiran mitra diskusi yang menjadi pendorong semangat, maka daya tahan orang mengejar mimpi itu juga akan ambrol di tengah jalan.  Terutama ketika motivasi menjadi melempem, karena menemui persaingan ketat, kegagalan, dan tipisnya kesempatan merebut sukses tersebut.
Empat musim suasana batin
Hampir 30 tahun lalu ada buku bagus berjudul The Heart Has Its Seasons: Winter, Spring,Summer, dan Fall. Perjalanan suasana hati manusia dalam keseharian seperti mengikuti irama empat musim tersebut.  Kadang manusia mengalami kebekuan di saat winter, lalu menemui titik terang di kala spring, dan menikmati kegembiraan saat matahari bersinar garang di summer,  dan kemudian meredup ketika menemui kegagalan di kala fall. Demikian seterusnya.
Skema perjalanan film La La Land mengikuti pola irama empat musim tersebut, saat mendeskripsikan dua sosok manusia bernama Mia Dolan (Emma Stone) dan Sebastian Wilder (Ryan Gosling). Masing-masing dan bersama-sama mereka berdua berjuang mengejar mimpi. Selain menjalin ikatan cinta, di antara mereka juga terjalin keinginan untuk saling memompa semangat agar mimpi masing-masing bisa tercapai menjadi nyata.
Mia berkeinginan menjadi aktris, mengikuti jejak bibinya. Setelah berjuang enam tahun dan di ambang frustrasi karena sering tidak lolos audisi, Sebastian datang menghampirinya dan mengantarkannya ke tangga sukses. Ia menjadi aktis tenar berkat ‘kegigihan’ Sebastian memompa semangat Mia yang ngambeg. Sebaliknya, Sebastian dimotivasi agar jangan lagi berkibar dengan label orang lain, melainkan sukses merintis usahanya sendiri: klub musik sekaligus tempat nongkrong yang akhirnya diberi nama “Seb’s” sebagaimana pernah diusulkan Mia.
Sayangnya, di ujung film ini kedua sejoli ini tidak sampai berhasil merajut cinta abadi dalam bentuk perkawinan dan membentuk keluarga. Mia telanjur sukses menjadi aktris besar dan dikisahkan harus syuting di Paris untuk sekian waktu lamanya. Keterpisahan fisik inilah yang membuat Mia ‘terpental’ dari kesempatan membangun cinta dalam keluarga bersama Sebastian.
Sepenggal potongan adegan film ini mengisi pesan penting di sini. Meski hatinya sedikit hancur karena tidak jadi menikahi Mia –kekasihnya yang telah mengantarkannya memiliki ‘Seb’s”—namun Sebastian merasa terhibur ketika Mia dengan bahasa tubuh mendukung keputusannya berani melangkah maju. Pun pula, meski hatinya dibalut rasa ‘sesal’ bahwa kisah cinta mereka akhirnya kandas, namun toh Mia merasa bersyukur bahwa berkat ‘kegigihan’ Sebastianlah dia berhasil meraih mimpi besarnya: menjadi aktris terkenal.
Menang Oscar?
Film La La Land yang dibesut sutradara Damien Chazelle ini berhasil menyabet tujuh penghargaan di ajang Golden Globe pekan lalu. Peran apik yang dimainkan Emma Stone dan Ryan Gosling juga didapuk dengan dua penghargaan sebagai best actress dan best actor. Lalu di ajang Golden Globe itu pula, La La Land juga diganjar penghargaan sebagai film dengan sutradara terbaik dan lainnya. Banyak orang meramalkan, tinggal selanglah lagi bilamana film dan kedua bintang utama ini bisa meraih Oscar di ajang Academy Awards nanti.
Harus diakui bahwa Emma Stone dan pasangannya Ryan Gosling memang ciamik saat memainkan dua sosok manusia yang dimabuk asmara, terkena ‘wabah’ mengejar mimpi besar, namun juga menampilkan sosok rapuhnya manusia ketika usahanya membentur tembok.
Lihat misalnya bahasa tubuh Emma Stone ketika alis dan syaraf di bawah matanya mendadak sontak bergerak manakala audisinya sukses diterima talent agent. Juga, wajahnya yang sendu menangisi kegagalannya dan sebaliknya keceriaan roman mukanya saat jatuh cinta. Lalu, lihat betapa pandainya Ryan Gosling memainkan jarinya di atas tuts piano dan mengajak Emma menari-nari di sebuah dataran tinggi.
Koreografi tari yang menawan juga menjadi andalan La La Land –sebuah judul film yang mengingatkan kita pada ‘dunia impian’ sekaligus kota Los Angeles –kota para malaikat di Negara Bagian California. Tidak adanya jeda dalam adegan tarian massal di jalur jalan bebas hambatan mengisi babak-babak awal film ini.  Sangat bagus.
Kostum yang dipakai Emma dan Ryan saat menari di dataran tinggi dan kesempatan lainnya juga menampilkan keindahan film ini, selain tentu saja koreografi gerak tarian yang mereka mainkan. Namun lebih dari semua tampilan estetik, La La Land mengajarkan satu hal penting di sini: pentingnya kehadiran orang lain, ketika manusia harus mengejar mimpi besarnya untuk sukses dalam kehidupan. Inilah hal yang sering dilupakan para motivator yang selalu mengandalkan ‘kekuatan sendiri’ saat mengejar mimpi. La La Land mengatakan: “Itu saja tidak cukup.”***

Popular Posts