Resensi Film: “North Country”, Perjuangan Mencintai Anak Haram dan demi Kesetaraan Jender

HUBUNGAN gelap dengan lelaki kekasihnya dan apalagi perkosaan yang berakibat munculnya janin di rahimnya sudah pasti merupakan petaka besar bagi setiap perempuan mana pun. Pilihan serba susah akan mengantar setiap perempuan untuk kemudian memilih ‘jalur pintas’ yang dianggap aman, jauh dari kecaman orang, namun meninggalkan ‘aib moral’ berupa dosa melakukan pembunuhan: aborsi.
Opsi lainnya adalah mengajak sang kekasih untuk segera menikahinya sehingga anak yang nantinya akan lahir dari rahimnya tidak lagi menyandang nama jelek sebagai ‘anak haram’, melainkan bisa punya status kelahiran secara hukum yang lebih kuat. Bayi yang lahir itu pun kemudian punya nama ayah dan nama ibu yang jelas.
Tapi bagaimana dengan hidup kebatinan seorang perempuan yang kemudian dinyatakan hamil karena ulah perkosaan? Apalagi kalau perkosaan itu dilakukan bukan oleh orang yang dicintainya? Bahkan kalau pun sebuah ‘perkosaan’ itu dilakukan oleh kekasihnya sendiri, maka penderitaan batin tentu saja akan membebat hati perempuan tersebut.
Josey Aimes (Charlize Theron) mengalami dilema tersebut.  Gadis muda semampai dan cantik ini kemudian hari dinyatakan hamil, setelah ia diperkosa oleh gurunya sendiri saat masih berumur 16 tahun dan duduk di bangku SMA.  Sang guru  memperdaya dia, ketika bersama kekasihnya yang bernama Bobby Sharp (Jeremy Renner) baru saja diskors oleh pak guru karena mereka ketahuan berciuman di lingkungan sekolah.
Sebagai gadis remaja, Josey tak menyadari kalau telah terjadi perubahan drastis pada tubuh ragawinya sendiri: kini secara perlahan dia sudah mulai berbadan dua. Pribadinya hancur berkeping, ketika ia mulai menyadari bahwa orok  yang  tengah dikandungnya itu merupakan ‘hasil‘ hubungan gelap yang dipaksakan oleh sang guru ketika dirinya diperkosa di ruang kelas.
Derita karena perkosaan
Namun sungguh tak dinyana, Josey ternyata berjiwa besar.
Ia tidak (mau) ‘membunuh’ janin itu dengan cara aborsi.  Tak seperti perempuan korban perkosaan atau ‘kecelakaan cinta’ lainnya, Josey malah bersedia melahirkan the unwanted child ini. Ketika ‘anak haram’ ini akhirnya lahir, Josey juga tidak mau mengirimkan bayi the unwanted child-nya  itu ke panti asuhan.
Sebaliknya, Josey merawat dan menyayangi anak itu sepenuh hati.
Dengan penuh cinta, ia membesarkan ‘anak haram’ itu dengan kasih penuh sehingga bayi sehat bernama Sammy ini akhirnya bisa bertumbuh dan berkembang sebagai pecinta olahraga hockey.
Inilah pengorbanan jiwa pertama yang dilakoni Josey, perempuan single parent yang sehari-hari menderita tekanan batin baik di dalam maupun di luar rumahnya.
Di dalam  rumah, hari-harinya penuh dengan penderitaan batin karena  ia dibuat tak berdaya  setiap kali Sammy menanyai dirinya dari benih siapakah sebenarnya kehidupan dia itu berasal.  Di luar rumah, dia tak jarang menerima perlakuan kasar dari masyarakat yang suka menyebutnya pelacur, lantaran dianggap punya kelainan seksual sehingga sering suka gonta-gonti pacar dan punya dua anak (Sammy dan adiknya Karen) namun tidak jelas siapakah kedua orangtua kedua anak tersebut.
Penderitaan ketiga berasal dari relasi antar personal Josey dengan kedua anaknya. Tak jarang, kedua anaknya secara membabibuta menyatakan ‘kebencian’nya kepada ibunya secara massif dan terang-terangan.
Penderitaan keempat datang dari kedua orangtuanya yang bernama Hank Aimes (Richard Jenkins) dan Alice (Sissy Spacek) yang juga terkadang tidak mau paham akan derita batin Josey. Harap tahu saja, Josey pun tak kuasa mengisahkan cerita sebenarnya di balik kehamilannya itu: sejatinya ia telah diperkosa oleh gurunya sendiri dan perutnya yang bunting dulu itu sungguh bukan karena ‘hasil hubungan gelap’ dengan Sharp –sang pacar ketika mereka masih di bangku SMA.
Karena diperkosa oleh sang guru, maka kisah aib itu Josey simpan tersembunyi di hatinya.  Ia tak pernah membicarakan hal itu  secara berterus-terang kepada mereka. Ia menutup aib itu dalam-dalam; baik kepada orangtuanya sendiri, juga kepada kedua anaknya, dan tentu saja kepada publik.
Derita berkepanjangan
Kini, baik di rumah maupun di tambang, Josey punya dua medan tempur yang sama dengan kandungan emosional yang berbeda.
Menutup aib ‘kisah perkosaan’ adalah derita berkepanjangan bagi Josey. Apalagi ketika ayahnya menolak mentah-mentah keputusannya mau bekerja di ladang tambang dimana Hank juga menjadi karyawan di perusahaan yang sama. Namun, Josey ingin menjadi ibu yang mandiri: punya rumah dan berpenghasilan sehingga bisa menghidupi kedua anaknya tanpa ‘asupan’ finansial dari kedua orangtuanya.
Konflik batin dan derita jiwa semakin menjadi-jadi membebat kedirian Josey. Apalagi, ketika tanpa dinyana dia berjumpa dengan mantan kekasihnya Sharp di lahan tambang dimana dia juga menjadi karyawannya. Ternyata api asmara Sharp tidak pernah luntur terhadap Josey, pun juga nafsu lelakinya.
Selain kata-kata ejekan yang cenderung melecehkannya dengan menyebutnya ‘pelacur’, Sharp sebenarnya ingin memperdaya Josey hanya karena dia ‘menginginkan’ tubuh mantan pacarnya itu. Cinta sudah barang tentu tak ada lagi di hati Sharp, karena dia sudah beristri dan mempersepsi Josey –ketika tengah diperkosa sang guru—ndianggap juga telah ‘menikmati’ permainan cinta di ruang kelas tersebut.
Perlakuan tak senonoh kaum lelaki terhadap perempuan ternyata tidak hanya menimpa Josey, melainkan kepada semua karyawan perempuan di perusahaan tambang. Adalah Josey yang secara pribadi mulai berani mempersoalkan hal itu sebagai ‘ketidakadilan’ jender.
Usahanya melawan sistem sosial yang tidak berpihak kepada penghormatan atas ‘kesetaraan’ hak-hak jender akhirnya membentur tembok tebal. Tak seorang pun bersedia membantunya, tak terkecuali Serikat Buruh dimana ayah dan dirinya ikut menjadi anggotanya.
Aib dan hormat terjadi di pengadilan
Pertemuan dengan pria yang jauh lebih tua bernama Bill White (Woody Harrelson) akhirnya membuka jalan lapang bagi niatnya ‘menggugat’ ketidakadilan yang terjadi di masyarakat Amerika, utamanya di ladang tambang tersebut: ketidakadilan atas persamaan hak-hak jender. Bill, seorang pengacara, akhirnya bersedia menemani gugatan class action melawan perlakuan tak senonoh terhadap kaum  perempuan di ladang pertambangan, justru karena kasus class action dengan tema hak-hak azasi manusia itu baru pertama kali datang kepadanya.
Saat mengikuti sidang-sidang gugatan melawan bos dan perusahaan tambang itulah, secara perlahan banyak pihak mulai bersimpati kepada Josey Aimes. Ini dimulai dari sahabatnya yang kini tengah sekarat yakni Glory  Dodge (Frances McDormand) ikut bersuara mengajukan gugatan yang sama. Pada sesi sidang inilah, secara tak terduga pengacara Josey berhasil memaksa mulut Sharp bicara apa adanya tentang kisah ‘perkosaan’ yang terjadi di ruang kelas tersebut.
Di ujung film berdurasi lebih dari 120 menit inilah, nilai sangat baik dari film bertitel North Country yang diangkat dari kisah nyata ini tiba-tiba mengemuka.
Inilah saatnya ketika dengan bibir gemetar dan wajah nanar, Josey dipaksa mengakui di muka pengadilan bahwa anaknya itu merupakana ‘hasil’ insiden perkosaan oleh sang guru terhadapnya dan bukan hasil ‘hubungan gelap’ dengan Sharp –kekasihnya saat masih di SMA.
Mencintai anak haram
Ini pula momentum tak disangka-sangka, ketika orangtuanya dibuat kaget karena ternyata cucunya itu benar-benar the unwanted child.
Inilah saatnya Josey harus berterus-terang kepada Sammy, anaknya yang selama ini membencinya dengan sangat karena tidak pernah memberitahu siapa sebenarnya nama bapaknya. Maka, lihatlah kata-kata Josey yang membuat orang bisa menitikkan airmatanya.
“Nak, bahkan pada  saat itu pun, bunda juga belum sadar bahwa engkau sudah ada di sana … dan ketika engkau sudah ada di rahim bunda, maka bunda pun berkomitmen menjaga dan merawatnya … ketika engkau akhirnya lahir, engkau adalah tetap anak bunda dan bukan anak dari entah siapa….”
Cuplikan kata-kata itu tidak persih sama. Namun kurang lebih itulah inti dialog mesra antara seorang ibu dengan ‘anak haram’ yang terjadi di akhir film North Country (2005) besutan sutradara Niki Caro.
Biasanya orang lelaki seperti saya mungkin hanya terpukau melihat Charlize Theron karena dia memang cantik, sensual, dan semampai. Kali ini, saya memuji Charlize karena dia dengan sangat bagus memerankan sosok bernama Lois E. Jenson. Inilah nama perempuan yang telah menderita batin berlapis-lapis karena telah dia telah diperkosa, dilecehkan, dibenci masyarakat dengan label “WTS” dan diolok rekan lelaki sesama karyawan di perusahaan tambang hanya karena satu hal: punya anak haram.
Namun, Jenson (Josey) telah berani berjuang mengalahkan derita batinnya sendiri untuk akhirnya mencintai ‘anak haram’ dengan penuh kasih, dan tanpa gentar melakukan sebuah perjuangan akan penghormatan terhadap kesetaraan hak-hak jender.***

Popular Posts