Resensi Film: “The Magnificent Seven”, Bersatu Kita Selamat

THE Magnificent Seven yang merupakan film baru bernuansa cowboy bisa dikatakan jor-joran aktor hebat.  Lihat saja Danzel Washington (sebagai Sam Chisolm), Ethan Hawke (Goodnight Robicheaux), Chris Pratt (Josh Paraday), Byung-hun Lee (Billy Rocks),  Vincent D’ Onofrio (Jack Horne),  Martin Sensmeier (Comanche) dan Manuel Garcia-Rulfo (Vasquez) bersatu dalam film garapan Antoine Fuqua.
Masing-masing dengan gayanya yang khas membuat penonton dapat melihat beragam figur dari yang bergaya tegas, atau yang pemabuk, atau yang dingin, yang keji, lihai bermain pisau sampai dengan yang pendiam.  Tepatnya ada tujuh jagoan yang kemudian disebut The Magnificent Seven.
 Butuh aman
Ada apa di balik tim tujuh ini?  Para jagoan tersebut disewa oleh  Emma Cullen (Haley Bennett) untuk membantu warga Rose Creek.  Pasalnya, warga Rose Creek ditindas oleh penguasa daerah yang bernama Bartholomew Bogue (Peter Saarsgaard).
Warga dipaksa untuk bekerja di tambangnya.  Siapa yang melawan akan mendapat hadiah kematian.  Banyak warga tewas karena keganasan Bogue.  Salah satunya adalah suami Emma.  Warga kebanyakan hanya membisu dan menerima situasi padahal mereka butuh rasa aman untuk masa depan anak cucu mereka.
Tetapi Emma dan Teddy Q terpanggil untuk keluar dari situasi tersebut.  Emma ditemani Teddy berkeliling mencari jagoan-jagoan yang berbendera putih.  Mereka yakin dengan bersatunya para jagoan aliran putih tentu kesusahan warga akan teratasi.  Emma berhasil mengetuk hati para jagoan untuk berbelas kasih kepada warga Rose Creek.
Memang sepintas kalau diperhatikan sepak terjang Emma seperti orang yang tengah mengumpulkan murid-murid untuk mengikuti visinya memberantas para penjahat tersebut.
Chislom bak seorang jenderal mengorganisir tim tujuh, melakukan pendekatan dan memberikan strategi perlawanan terhadap Bogue.  Kisah film ini sebenarnya tak terlalu spektakuler.  Layaknya film-film yang lain, Chislom dan teamnya memberdayakan warga Creek dengan latihan perang ala kadarnya.
Intinya mereka diajari untuk bisa bertahan di kota mereka.
Kemudian serangan datang, dan satu persatu jagoan itu mati terbunuh dalam pertempuran melawan Bogue.  Kendati Bogue sempat diatas angin dengan senjata api otomatisnya namun dipenghujung kisah, ia dihabisi.
Sejak saat itulah Chislom dan timnya menjadi legenda di daerah barat Amerika.
 Unity in diversity
Selesai menyaksikan film tersebut, muncul dibenak penulis mengapa film-film Amerika sering mengangkat pentingnya para jagoan nge-team dalam melawan kejahatan.  Simak saja Fantastic Four, Captain America, X-Men, Suicide Squad dan lain-lain jelas-jelas menampilkan team work.  Kali ini The Magnificent Seven pun mengambil tokoh dari ras kulit hitam, Chinese, Mexican, dan kulit putih.  Keahlian mereka pun beragam dari tukang judi, jotos, penembak, pemain pisau, sampai pemanah.  Mereka bersatu dengan satu visi yang sama sebagaimana ditawarkan oleh Emma.
Saya menilai, ini bukan melulu persoalan riil yang dihadapi oleh Amerika dengan isu dalam kampanye presiden tentang USA sebagai negara para imigran saja.  Tetapi lebih dari sekedar isu pluralitas di USA, dunia kita saat ini adalah dunia postmodern dimana keragaman adalah suatu kemutlakan.  Solusi terhadap persoalan kemanusiaan haruslah ditangani secara komprehensif dan bersama-sama.  Dalam dunia postmodern, setiap kelompok, komunitas dan ideologi memberikan sumbang sih terhadap kelangsungan masyarakat.
Semoga film ini menginspirasi para penonton untuk mewujudkan masyarakat pluralis.***

Popular Posts