Resensi Film: “Hacksaw Ridge”, Menjadi Pahlawan tanpa Bedil

MANUSIA mana yang tidak takut ‘menghadapi’ kematian? Kita semua manusia akan dibuat gigrik (gemetar ketakutan), setiap kali melihat peristiwa kematian terjadi di depan mata kita. Kita dibuat menangis bahkan bisa meraung-raung sedih tanpa henti, ketika anggota keluarga kita mengalami ‘peristiwa’ kematian itu di depan mata.
Untuk sebuah ‘peristiwa’ kematian yang wajar saja, kita bida dibuat menangis tersedu-sedu.  Maka, emosi kita akan dibuat menjadi  lebih ‘heboh’ lagi, ketika kematian tidak wajar merebut anggota keluarga kita.
Thomas Doss (Vince Vaughn) adalah sosok pribadi yang hatinya dibuat remuk-redam oleh pengalaman buruk  tentang kematian tersebut. Ia menyaksikan di depan matanya sejumlah temannya –sesama prajurit AD Amerika—mati mengenaskan ditembak musuh. Itu terjadi pada waktu Perang Dunia I, saat mereka ikut berperang di hutan Perancis yang menewaskan banyak serdadu Amerika.
Doss terkoyak hidupnya, sehingga mengalami trauma sekaligus menjadi ‘buas’ terhadap isterinya saat pengalaman traumatik ini menguasai emosinya yang lagi labil. Rupanya, kekerasan dalam rumah tangga inilah yang membuat anaknya yang bungsu Desmond Doss (Andrew Garfield)menjadi ‘antipati’ terhadap kekerasan dan tidak mau menyentuh senjata api.
Ia ‘trauma’ ketika dalam sekejap nyaris tergoda menarik pelatuk pistol dan kemudian menembak ayahnya sendiri, lantaran sang ayah melakukan KDRT terhadap isteri dan ibunya.
Rasa berdosa
Sebagai penganut mashab denominasi kristen yang sangat puritan dan taat, Desmond Doss merasa terus dihantui rasa bersalah, ketika ia nyaris ‘membunuh’ Hal Doss, kakak kandungnya sendiri, saat kedua bocah kecil ini berkelahi.  Ia menampar kepala Hal dengan batu bata sehingga mengalami cidera serius yang bisa membuat nyawanya melayang.
Takut mati dan kehilangan kedua anaknya tewas di medan perang membuat Thomas Doss resisten terhadap keinginan keduanya anaknya menjadi serdadu. Pengalaman traumatik nyaris ‘membunuh’ kakaknya  dan nyaris tergoda menarik pelatuk pistol dan ‘membunuh’ ayahnya juga  telah membuat Desmond Doss jadi sangat alergi pada kekerasan.
Itulah yang membuat dia jadi bahan tertawaan saat mengikuti program pendidikan dasar sebagai calon prajurit AD Amerika. Bagaimana mungkin bisa menjadi tentara, tapi tidak mau bersentuhan dengan senjata alias bedil?
Tapi itulah hebatnya film Hacksaw Ridge yang akhirnya membawa Desmond Doss ke medan laga di Perang Okinawa.  Satu kematian dan kematian lainnya terjadi di depan matanya, ketika sebagai tenaga medik ia harus menyelamatkan semua tentara AS yang terluka di medan perang yang sangat brutal tersebut.
Aksinya yang sangat heroik yang sering kali malah melupakan keselamatannya sendiri inilah yang membuat dia akhirnya diganjar medali Medal of Honor yang sangat bergengsi. Desmond Doss menjadi pahlawan di medan laga, bukan karena membawa bedil melainkan membawa peralatan medik.
Menariknya, keinginannya menjadi ‘juru rawat’ di medan perang itu dipicu oleh pengalaman sederhana saat bertemu dengan perawat super manis bernama Dorothy Schutte (Teresa Palmer) yang kemudian dia persunting menjadi isterinya.
Kematian yang tragis menyesakkan
Hacksaw Ridge sesungguhnya bercerita tentang kedirian kita sebagai manusia yang takut akan kematian. Film ini juga berkisah tentang brutalnya perang yang membuat para pelakunya (baca: tentara) menjadi ‘goyah’ dalam perjalanan hidup selanjutnya pasca pulang dari medan laga.
Hacksaw Ridge boleh dibilang sungguh ‘kejam’ karena ia mampu menggambarkan adegan perang itu  secara kasat mata dan terang-terangan. Lihat misalnya, tubuh manusia yang dalam sekejap terkoyak oleh ledakan granat atau teriakan manusia ketika tubuhnya dihujam banyonet oleh serdadu Jepang yang kalap.
Tapi film panjang besutan sutradara Mel Gibson  ini Justru diangkat dari kisah nyata. Maka bagi saya,  Hacksaw Ridge menjadi semacam paparan yang amat menyentuh hati. Ia bicara tentang ‘kengerian’ kematian dari sudut manusia yang mengalami ‘peristiwa’ kematian itu secara langsung dalam skala sangat masif di Perang Dunia II di kawasan Asia-Pasifik yang melibatkan Amerika dan Jepang.
Sebuah nukilan sederhana kiranya menjadi kata kunci di sini. Saat damai, maka anak-anak akan menguburkan orangtua mereka. Namun di saat perang berkecamuk, maka orangtua akan menerima anaknya dalam kondisi sudah mati dan kemudian menguburkannya.
Kematian sungguhlah sebuah peristiwa yang sangat menyesakkan.***

Popular Posts