Resensi Film: “Broken Vows”, Berawal dari Hal Sepele

FILM baru Broken Vows mengarahkan ingatan saya pada kisah Daud dan Betsyeba.  Berawal dari melihat Betsyeba dan berakhir pada kisah pembunuhan Uria.
Sederhana awalnya.  Tara (Jamie Alexander) sedang menghabiskan weekend dengan teman-temannya di New Orleans.  Ia melihat seorang pria yang mempesona. Bertatapan dan menginginkannya. Ia ingin mengulang perjumpaan. Tetapi berbuntut pada nasib tak menguntungkan. Tara terjebak dalam drama tragedi.
Tara diburu oleh lelaki yang ia kencani, Patrick (Wes Bentley).  Lelaki itu tergila-gila dalam kisah cinta satu malam.  Ia tidak mau melepaskan Tara dari dekapannya.  Sementara Tara yang terpesona pada wajah eksotis dan dingin si bartender itu ternyata telah berada pada minggu-minggu persiapan perkawinannya.
Semula, pertemuan semalam itu dipikirkan oleh Tara akan segera selesai ketika ia pulang dari New Orleans.  Ternyata tidak.  Patrick membuntutinya ke rumahnya karena cinta matinya.
Malangnya, Patrick adalah seorang psikopat.  Ia pembunuh sadis.  Selidik punya selidik, pemicu kegilaannya adalah cintanya tidak diacuhkan oleh wanita yang ia sukai.  Pun pula, Patrick itu seorang yang pintar menyusun rencana jahat dan mumpuni dalam berakting.
Patrick berusaha menggagalkan rencana pernikahan Tara.  Ia berkhayal bahwa Tara akan menerima perjuangan cinta matinya.
Tara yang kemudian tahu bahwa Patrick itu psikopat kontan takut dan mencari jalan untuk menggagalkan usaha jahat Patrick.
Film berakhir di sebuah pulau tempat berbulan madu Tara dan Michael (Cam Gigandet).  Patrick sampai di tempat itu karena mencoba untuk menghabisi pasangan ini.
Penyakit jiwa
Kalau dicermati, film Broken Vows menyodorkan dua penyakit jiwa dalam masyarakat. Masyarakat sebenarnya telah akrab dengan dua penyakit ini.  Pertama adalah penyakit kurang dicintai dan kedua adalah ketidakpekaan pada dosa.
Simak saja dalam film Broken Vows yang memasarkan dimensi psikologis Patrick yang haus akan pengakuan akan cintanya yang dahsyat.  Patrick merupakan personifikasi seorang yang haus akan pengakuan akan pengurbanannya.  Kehausan cinta itu  menjadikan pribadinya berperan sebagai seorang yang romantis, seduktif, dingin dan sekaligus penuh pengorbanan.  Bagi beberapa wanita, pria macam ini sungguh mempesona.
Tetapi penampilannya juga mewahyukan kekosongan afeksi.  Kendati Patrick bekerja sebagai bartender dan secara ekonomi berkecukupan tetapi itu tidak menjawab kebutuhannya.  Perjalanan jiwa yang haus akan pengakuan akan cinta dan hidup yang kesepian dapat menghantar seseorang pada obsesi gila dan keji.  Seketika ia mendapatkan mangsa, ia akan begitu posesif dan protektif.
Berpaling pada Tara, tokoh yang mengingatkan saya kepada tokoh Daud dalam kisah Kitab Suci.  Tara mengawali dosa beratnya dengan pandangan mata, lalu memikirkannya, dilanjutkan dengan keinginan berjumpa dan akhirnya menyeretnya pada asmara semalam.  Ia seolah-olah terbius oleh eros dalam dirinya dan magnet pesona Patrick. Semua itu mengunci akal sehatnya dan kesadaran siapa dirinya yang adalah seorang tunangan dari Michael yang minggu depan akan melangsungkan perkawinan.
Hal sepele bila ditidak disertai dengan kesadaran siapa “aku” dapat menjadi pintu dosa.  Dalam sekejap kepekaan akan dosa itu hilang.  Tahu-tahu, seperti Tara, harus berhadapan dengan konsekuensi perjumpaannya dengan Patrick.
Memang Tara tidak bisa dihakimi begitu saja. Tetapi Tara adalah korban zaman yang memrpoduksi masyarakat yang mengeluarkan kesadaran akan dosa dalam kehidupan sehari-hari.***

Popular Posts