Resensi Film: “In the Heart of the Sea”, Pantang bagi Pelaut Berbohong

SEJATINYA, sesuai alur cerita yang sesungguhnya, kapal penangkap ikan paus Essex telah dibuat tenggelam karena ulah paus jumbo warna putih. Karena sabetan ekornya yang super kuat, lambung kapal Essex jadi pecah. Isinya porak-poranda dan ledakan keras telah memaksa para awaknya mengungsi ke sekoci guna menyelamatkan diri.
Kisah sejati Essex maunya tetap terus disembunyikan agar jangan sampai terdengar di publik. Namun, imbauan Dewan Maritim ini tidak digubris oleh perwira satu Owen Chase (Chris Hemsworth) dan berikutnya juga oleh Sang Kapten George Pollard Jr (Benjamin Walker). Akhirnya, kedua pelaut yang awalnya saling bersaing ini sepakat untuk mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi di Samudera Pasifik: kapal penangkap ikan paus mereka Essex hancur berkeping-keping karena dihantam oleh paus jumbo.
Industri perminyakan
Bagi sekalian penduduk di sebuah kota kecil di Massachussetts, kisah sejati ini sungguh memalukan. Bagi industri pencari minyak ikan paus untuk konsumsi penyediaan listrik, berita kapal Essex dibuat tenggelam oleh seekor ikan paus yang mestinya diburu itu sungguh aib yang tak pantas dikisahkan. Kalau kisah sejati ini terbongkar dan semua orang tahu kisah sesungguhnya di balik tenggelamnya kapal Essex, maka  kabar tak sedap ini bisa membuat  industri pengolahan minyak ikan paus bangkrut. Karenanya, tutup mulut adalah senjata terakhir agar industri minyak hasil olahan ikan paus ini tetap bertahan.
Maklumlah, tahun itu baru menginjak angka 1820 ketika minyak yang baru dikenali manusia adalah hasil olahan dari ikan paus. Karenanya, ikan paus lalu diburu, dibunuh dengan tombak, dan dagingnya ‘diperas’ agar menghasilkan minyak untuk kebutuhan pasokan ‘listrik’ zaman itu.
Kisah memalukan ini tersimpan rapat di mulut Thomas Nickerson (Brendan Gleeson), salah satu pelaut yang berhasil selamat dari amukan si Moby Dick –julukan ikan paus jumbo yang ganas. Saat masih muda belia, Nickerson (Tom Holland) ikut dalam rombongan pelaut pemburu paus pimpinan duet Kapten George Pollard Jr dan Perwira I Owen Chase.
Kebenaran memalukan
Nickerson memilih tutup mulut, karena kisah tenggelamnya Essex ini menyeramkan dan menurut khalayak umum memang tidak pantas diceritakan. Karenanya, ia lalu mengunci rapat-rapat bibirnya, sampai akhirnya seorang penulis muda Herman Melville (Ben Whishaw) berhasil membujuknya untuk bersuara demi sebuah kebenaran.
Nah, menguak sebuah kebenaran kisah berburu ikan paus inilah intisari penting dari kisah dramatik film anyar berjudul In the Heart of the Sea.
Nickerson memilih tutup mulut rapat-rapat, lebih karena kebenaran yang memalukan dan sarat melawan moralitas. Ia tak mau bercerita bukan karena ancaman Dewan Maritim, melainkan karena sisi-sisi paling gelap dalam peradaban manusia terjadi di sepanjang 90 hari terombang-ambing ombak di tengah lautan bebas.
Yang terjadi adalah sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan. Demi mencoba bertahan hidup, para pelaut yang kehausan dan kelaparan itu terpaksa main Russian roulette untuk mengundi keberutungan dan nasib buruk yang mengintai ujung kehidupan mereka. Begitu undian jatuh ke mereka, maka yang kena undi harus rela ditembak mati agar nantinya organ dan tubuhnya menjadi ‘nasi’ untuk memberi makan para pelaut lainnya yang masih hidup.
Kapal penangkap ikan paus Essex yang porak poranda diterjang amukan Moby Dick menyisakan kisah kelam: kanibalisme oleh manusia. Apa daya ketika para pelaut itu akan mati kelaparan, hingga akhirnya mayat salah satu temannya menjadi santapan untuk bisa bertahan hidup. Kisah kelam menyedihkan inilah yang membuat Nickerson tutup mulut rapat-rapat sampai akhirnya mau berkisah kepada Melville.
Pilihan paradoksal
Film anyar In the Heart of the Sea besutan sutradara Ron Howard mesti dilihat dalam perspektif dua hal ini. Pertama, apa daya kekuatan manusia dan ambisinya ketika di lautan maha luas menjadi satu noktah kecil di hamparan samudera tanpa batas. Apalah arti manusia yang dengan sombongnya bisa membunuh paus, namun nyatanya nyalinya malah dibuat mampet oleh karena seekor ikan paus jumbo yang mampu memporak-porandakan kehidupan? Kedua, ketika manusia belum mengenal minyak mentah hasil bumi, maka paus menjadi sumber energi yang mesti diburu untuk dibunuh dan kemudian ‘diperas’ minyaknya untuk kebutuhan hidup manusia. Ketika pada tahun-tahun berikutnya, Amerika berhasil mengeduk perut bumi Pensylvannia dan menghasilkan minyak bumi, semestinya paus-paus ini harus dibiarkan bebas tanpa perlu diburu manusia untuk kebutuhan mencari minyak.
Melihat film In the Heart of the Sea dengan perspektif dua hal di atas menjadi menarik, justru karena di situ ada pergumulan batin manusia ketika harus mendamaikan dua kebutuhan yang saling bertolak belakang: memburu paus demi minyak atau membiarkan mahkluk mamalia laut ini hidup demi terjaganya konservasi alam. Juga, rela menyantap daging manusia –kawannya sendiri– agar bisa tetap hidup atau kemudian mengambil organnya saja dan kemudian menguburkannya secara layak di laut bebas.
Konflik batin manusia di tengah lautan bebas inilah yang membuat film In the Heart of the Sea ini menjadi menarik daripada hanya melihat kepongahan manusia menancapkan tombaknya di kepala paus dan kepongahan industri pengolah minyak ikan dengan cara menutupi kisah sejati tenggelamnya kapal Essex.***

Popular Posts