MENANG TANPA NGASORAKE


Ungkapan di atas secara harafiah bermakna “menang tanpa mengalahkan”. Tentu sangat susah dipahami oleh orang-orang sekarang dengan ungkapan di atas. Sebab pasti menjadi suatu yang ngayawara, imposible alias mustahil. Mana ada menang tanpa mengalahkan. Menurut logika orang, yang pasti orang menang itu tentu dengan mengalahkan lawannya. Misalnya orang mengikuti lomba dan pertandingan, pemenangnya pasti mengalahkan lawannya. Hal itu sudah menjadi jamak dimengerti umum.

Sebenarnya ungkapan dari masyarakat Jawa tersebut lebih menitikberatkan pada olah “rasa” dan sifat rukun. Orang Jawa dalam bergaul sebisa mungkin sangat menghindari konflik fisik secara terbuka dengan orang lain. Jika berseberangan pendapat dengan orang lain, tidak harus diungkapkan secara terbuka ketidaksetujuannya tersebut namun lebih pada tingkat memberi samudana alias simbol atau isyarat. Hal itu bukan berarti merasa takut akan tetapi lebih mengutamakan menjaga sikap rukun. Bisa jadi kita berseberangan pendapat dengan orang lain, tetapi cara penolakan ketidakcocokan bisa diutarakan dengan ungkapan yang lebih halus, misalnya “pendapat Anda tidak salah, tetapi lebih baik jika ….” atau “mungkin akan lebih baik jika pendapat Anda demikian ….”
Itulah inti dari ungkapan “menang tanpa ngasorake”, sebenarnya lebih merujuk ke suatu sikap orang Jawa dalam bergaul agar lebih mengutamakan rendah hati dan tidak berlaku sombong, sok adigang, adigung, adiguna “menyombongkan diri karena mempunyai kekuatan, kekuasaan, kekayaan, dan kepandaian”. Ketika orang lain berseberangan pendapat atau lebih kasar bahkan dikatakan bersalah menurut tatakrama yang berlaku, orang Jawa juga sangat menghindari sikap merendahkan atau bahkan menghinakan orang lain yang bersalah itu di muka umum. Dengan tidak merendahkan atau menghinakan orang lain itulah dianggap suatu sikap yang sangat terpuji, karena bisa mencegah nafsu amarah pribadi terhadap orang lain yang bersalah. Orang lain yang merasa bersalah, ketika mendapat samudana atau isyarat, biasanya lalu menyadari kesalahan. Kesadaran pribadi atas kesalahan yang dilakukan itulah yang sangat diharapkan dalam kritikan yang dibungkus dalam isyarat. Memang dalam praktiknya sulit dilakukan, walaupun mudah dalam teorinya.***
Baca juga MENENG WIDARA ULEREN

Popular Posts