Resensi Film: “The Forger,” Cinta Sejati Sang Penjiplak

GURU kebijaksanaan Tiongkok klasik Konfusius pernah berkata: Ada tiga cara untuk menjadi mahir dalam kebijaksanaan, yaitu cara pertama yang paling adiluhung adalah melalui refleksi, cara kedua paling gampang adalah dengan meniru, dan cara ketiga yang paling menyakitkan dengan mengalaminya sendiri.

Namun di film The Forger (Sang Penjiplak) yang dirilis April ini, cara yang seharusnya tergampang yaitu menjadi peniru, justru bisa menjadi cara paling menyakitkan, meskipun kemudian bisa berujung pada keluhuran cara pertama.

Syahdan,  Raymond J. Cutter  diperankan oleh aktor-penulis-sutradara-penyanyi-penari gaek, John Joseph Travolta, harus menjalani masa tahanan karena tertangkap gara-gara menjiplak lukisan lawasan yang mahal. Keterampilannya dalam meniru lukisan sesuai aslinya, mendatangkan masalah bertubi-tubi terhadap keluarganya setelah ia dijebak sindikat lintah darat licik dalam transaksi jual-beli lukisan palsu.

Di dalam penjara, Ray merelakan ditinggal istri Kim (diperankan Jennifer Ehle) yang membenamkan diri dalam kecanduan narkoba akibat keputusasaan, ayah tunggal Joseph Cutter (diperankan Christoper Plummer) yang jadi membencinya karena masalah yang dia bawa pulang, serta anak semata wayang Will Cutter (diperankan Tye Sheridan) yang men-capnya dengan stigma tentang si ayah yang tak lebih dari bajingan yang suka berpura-pura dan berbohong.

Dikisahkan, Ray terpaksa menelpon sindikat rentenir kenalannya untuk meminjam uang, guna menyuap hakim agar ia bisa keluar dari tahanan lebih awal. Usut punya usut, Ray ia ingin segera keluar dari penjara untuk menata kembali hidup keluarganya yang telah porak poranda.

Ray berpacu dengan waktu rupanya. Ia tak ingin anaknya Will yang ternyata menderita kanker otak stadium 4, mati dengan stigma buruk tentang ayahnya. Ray mencoba membangun kembali cinta ayah-anak meskipun ternyata tidak gampang karena luka masa lalu yang terlalu parah.

Melalui berbagai cara, termasuk cara diinsipirasi kisah legendaris melalui “Permainan 3 Permintaan” untuk dipenuhi, sebagaimana dalam “Cerita 1001 Malam” saat jin yang dikeluarkan dari bejana mengabulkan 3 permintaan, Ray mencoba menjalin kembali satu demi satu kebersamaan dengan si anak remaja yang kalut menghadapi kemoterapi yang menyakitkan.

Niat Ray untuk mengabulkan tiga permintaan terakhir anaknya, termasuk mempertemukan sang anak dengan ibunya, ternyata menuntutnya untuk mempertaruhkan segala-galanya demi cinta. Tiga permintaan itu harus dibayar dengan risiko dikejar-kejar polisi atas berbagai pelanggaran atas aturan pembebasan bersyaratnya.

Permintaan terberat yang harus dipenuhi adalah permintaan Will agar diikutkan dalam ‘pengalaman profesional’ Ray. Tak lain dan tak bukan, Will ingin ikut dalam proyek kejahatan menjiplak lukisan dan menukarkan dengan lukisan asli termasyur karya pelukis penggagas impresionis Prancis Claude Monet (1868-1899). Lukisan asli yang menggambarkan Suzanne Hoschedé, putri dari Hoschedé, istri kedua Monet itu tengah dipajang di museum. Semua aksi dilakukan untuk  menebus uang pinjaman.

Kejujuran dan ketulusan cintanyalah yang pada akhirnya membuka mata Will  untuk memahami kesejatian cinta sang ayah dan mengerti alasan mengapa ayahnya terpaksa harus berpura-pura yaitu untuk menjaga agar dia tak terluka. Di dunia penjiplak, ternyata masih ada yang sejati yaitu cinta sang ayah  kepada anaknya.

Kejujuran dan ketulusan itu juga memperbaiki hubungan Ray dengan ayahnya, Joseph yang rupanya punya riwayat yang tak kalah kelam sebagai raja copet yang bertobat. Selama Ray dipenjara, Josephlah yang merawat Will.

Dengan  hubungan yang telah diperbaiki, tiga generasi ‘Cutter boys’ berkolaborasi dalam aksi mencuri lukisan sembari adu cepat dengan polisi yang mengincar mereka, untuk membayar uang pinjaman ke sang rentenir.

Berhasilkah mereka aksi terakhir itu? Bagaimana cara Ray untuk menjiplak lukisan untuk ditukar dengan lukisan asli? Bagaimana dengan utangnya kepada sindikat rentenir? Apa yang terjadi dengan Ray, Joseph dan Will?

Temukan jawabannya dalam film yang sepertinya bisa menjadi jeda sejenak untuk refleksi mengenai kehidupan setelah khalayak pecinta film disuguhi selama beberapa minggu terakhir dengan aksi laga riuh rendah melalui film Fast and Furious 7 dan the Avengers, the age of Ultron.***
Baca juga Resensi Film: "Zhongkui: Snow Girl and the Dark Crystal", Ketika Iblis Jatuh Cinta

Popular Posts