Resensi Film: “Cinderella”, Tiga Resep Kehidupan: Tegar, Baik Hati dan Jompa-jampi


TERSEDIA tiga resep jitu untuk melakoni hidup bahagia yang ditawarkan kepada Cinderella: senantiasalah hidup tegar, berbaik hati kepada sesama dan sesekali jangan ragu pakailah rumus jompa-jampi untuk ‘bermain sulap’. Nasehat kehidupan ini disebulkan ke telinga Ella –gadis lugu nan rupawan—ketika dia masih belia, sesaat sebelum ibunya mesti meninggalkan dia untuk selamanya karena putus nyawa.
Belakangan, tiga resep jitu melakoni hidup bahagia itu ternyata manjur ketika tiga orang ‘jahat’ masuk ke dalam kastil rumahnya. Mereka adalah Lady Tremaine (Cate Blanchett) dan kedua putrinya yang juga tamak sekaligus norak yakni Drizella dan Anastasia. Ketiga ‘pejahat’ nurani ini masuk dalam kehidupan Ella (Lily James) berkat perkawinan ayahnya yang mengawini janda teman dekatnya, meski kemudian perkawinan itu hanya seumur jagung lantaran ayahnya tewas karena sakit dalam perjalanan bisnis ke LN.

Lingkaran kejahatan
Dalam suasana kebathilan dimana segala sesuatu diatur paksa oleh Lady Tremaine yang durhaka, Ella senantiasa hidup tegar dan tetap ramah sesuai wasiat mendiang ibunya. Namun, sekali waktu dia pun jengah hingga kemudian nglayap masuk hutan dan tiba-tiba saja bertemu pangeran tampan dan dalam hitungan menit kedua mahkluk Tuhan beda kelas social ini pun diam-diam jatuh cinta.
Sampailah tiba saatnya, sang pangeran tampan yang mengaku bernama Mr. Kit (Richard Madden) ini dipaksa mencari jodoh oleh ayahnya yang mulai beranjak renta. Tak mau mengawini putri ningrat dari Zaragosa atas bujukan ayahnya, maka dibuatlah lomba dansa yang terbuka untuk semua kalangan.
Nah, kali ini rumus jompa-jampi ‘main sulap’ disebulkan oleh peri tanpa nama (Helena Bonham Carter). Dalam sekejap, tersedia di depan mata kereta kencana berlapis emas lengkap dengan kuda, kusir dan pelayan yang disulap sang peri dari angsa, tikus dan kadal. Dengan modal baju ‘kebesaran’ peninggalan mendiang ibunya, putri desa yang aslinya bernama Ella melangkah pasti menuju istana untuk mengikuti lomba dansa.
Tak dinyana, Pangeran Tampan alias Mr. Kit justru melirik kea rah Cinderella –nama baru Ella hasil julukan kedua saudara tirinya terhadapnya ketika sekali waktu wajahnya jadi hitam kena arang dapur. Ternyata, kata ‘cinderella’ berasal dari kata ‘cinde’ yang artinya arang ditambah kata ‘ella’ nama asli sang putri desa cantik namun serba lugu ini.
Sayang, rumus jompa-jampi ‘main sulap’ ini hanya berumur pendek. Tidak boleh lebih dari pukul 24.00 malam dan sebelum dentang jam beraksi, Cinderella harus segera menghentikan ‘aksinya’. Begitulah pesan Sang Peri, namun di ballroom istana, pagu waktu itu terlewatkan hingga kemudian dengan sangat tergopoh-gopoh Ella melarikan diri dari istana dan ketinggalan sepatu kacanya.

Sepatu kaca mencari jodoh
Sang Pangeran Tampan kini sudah naik tahta menjadi raja menggantikan ayahnya yang telah mangkat. Namun, ia belum berjodoh karena hatinya sama sekali bergeming terhadap Putri Zaragosa yang disodorkan Sang Maha Patih. Diam-diam hatinya tetap terpaku pada Ella –putri desa antah berantah—yang tiba-tiba hilang melarikan diri dari kerajaan lantaran kena batas pagu waktu: daya sulap akan hilang selepas pukul 24.00 malam.
Singkat cerita, kompetisi mencarikan jodoh kaki untuk sepatu kaca itu pun digelar dimana-mana. Serba lucu dan wagu, ketika nenek-nenek tua pun dipaksa untuk menjajal sepatu kaca tinggalkan Ella. Tak lupa juga, Anastasia dan Drizella yang sangat ambisius merebut hati Sang Pangeran.
Cinderella yang sudah ditawan di atas loteng mulai putus asa, ketika tiba-tiba sekawanan tikus yang menjadi sahabatnya membuka pintu istana dan …adabakabra…nyanyian khas Ella terdengar oleh kawanan Istana yang tengah mencari ‘jodoh’ sepatu kaca ini.
Akhirnya, memang hanya Ella alias Cinderella yang paling cocok memakai sepatu kaca ini. Dan pesta nikah pun segera dilakukan di Istana untuk meresmikan perkawinan antara Mr. Kit dan Ella ini.
Di ujung cerita semakin menjadi jelas bahwa untuk bisa hidup bahagia, maka hayatilah hidupmu dengan tiga jurus ‘maut’: senantiasalah tegar, berbaik hati dan –kalau perlu—sesekali main jompa-jampi ‘sulap.
Meski film Cinderella aslinya masuk kategori film anak-anak, namun nyatanya di Jakarta Cinderella berhasil merebut hati orang dewasa untuk menikmati film bagus dengan sarat moral yang intens ini.***
Baca juga Resensi Film: “The Cobbler,” Super Sepatu

Popular Posts