Resensi Film: “American Sniper”, Jitu di Medan Perang namun Rapuh di Keluarga


FILM anyar “American Sniper” ini adalah saduran lepas biografi seorang penembak jitu (sniper) SEAL Amerika yang mendapat julukan The Legend dengan rekor mencatat target 255 kali tembakan pembunuhan di saat Perang Irak berkecamuk.
Ternyata rekor juga terjadi pada film ini. American Sniper ini adalah film perang dengan penghasilan terbesar dalam sejarah perfilman Amerika dengan mengumpulkan pundi sebanyak 500 juta dolar sampai saat tulisan ini dibuat (modal film ini ‘hanya’ 58 juta dolar). Keuntungan film ini berhasil mengalahkan film perang terkenal besutan sutradara wahid Steven Spielberg. Lebih dari 15 tahun lalu, rekor terbanyak sebagai film perang dengan nilai komersial tertinggi berhasil diraih film dengan latar belakang peristiwa The D-Day di lepas pantai Normandia, Perancis yakni Saving Private Ryan.
Sebenarnya, American Sniper ini awalnya juga akan disutradarai oleh Steven Spielberg sebelum akhirnya dia mundur karena keterbatasan dana Warner Bross sebagai rumah produksinya hingga membuatnya ragu bisa mewujudkan visinya secara utuh. Tugas itu akhirnya jatuh ke tangan Clint Eastwood, sang sutradara dan aktor kawakan yang juga pernah selama tiga tahun menjabat sebagai Walikota Carmel, California.
Secara sinematografi, film ini hanya menyabet satu Oscar dari enam nominasi yang didapatnya yaitu Editing Suara Terbaik. Sempat dinominasikan sebagai Film Terbaik, film ini mendapat tanggapan positif secara luas. Kepiawaian Bradley Cooper memerankan Christ Kyle dalam berbagai kondisi hidupnya – sebagai warga negara dengan jiwa patriotisme tinggi, sebagai pembunuh legal yang kadang harus ‘tega’ demi menjalankan profesionalitasnya, dan sebagai suami yang depresi tidak bisa melepaskan diri dari kecamuk perang walau berada di tengah keluarganya. Tangan dingin Clint Eastwood yang telah pernah diganjar Oscar sebagai Sutradara Terbaik membuat film ini menarik ditonton.
Terlepas dari segala rekor dalam film ini, cerita yang disajikan cukup seru dari dua sisi, film aksi maupun aspek dramanya. Koreografi perang yang disajikan terlihat ‘riil’ dan menyakinkan. Kita seakan dibawa ke daerah Perang Irak dengan segala bahayanya.

Patriotisme Amerika
Film ini berkisah tentang Christ Kyle, koboi Texas yang semangat patriotnya berkobar untuk membela negara di medan perang ketika melihat tayangan tentang pengeboman kedutaan Amerika Serikat di Dar es Salaam (Tanzania) dan Nairobi (Kenya) tahun 1998. Singkat kata, ia berhasil lulus sebagai prajurit Navy SEAL (Sea, Air, Land) dengan tugas khusus sebagai penembak jitu.
Christ Kyle mendapat empat kali penugasan ke Irak selama Perang Irak, Ia terbukti mampu menjalankan tugasnya dengan luar biasa sampai dijuluki The Legend alias seorang legenda. Film ini bercerita bagaimana Christ menjalani tiap penugasan dan kembali ke rumah.
Drama kesulitan Christ Kyle untuk beralih dari seorang prajurit yang bertugas melindungi para marinir dalam misinya untuk menjadi suami dan ayah ketika dia pulang ke rumah tampak nyata dan manusiawi. Christ akhirnya pensiun muda dari Navy SEAL dan mengobati mentalnya yang terpengaruh oleh perang. Ia bukan dihantui oleh orang-orang yang telah dibunuhnya dengan jitu tetapi oleh orang-orang yang menurutnya seharusnya bisa dia selamatkan. Gejolak batin ini menarik untuk diikuti karena sebagai warga sipil kita terkadang tidak memikirkan bagaimana para prajurit garis depan ketika mereka kembali ke rumah.
Bantuan psikiater dan dukungan keluarga akhirnya membuat Christ bisa kembali normal seperti orang biasa sebelum perang. Naasnya, hidupnya terhenti muda (38 tahun) bukan karena musuh asing di medan perang tetapi oleh seorang mantan marinir muda yang menderita cacat mental akibat perang.
Lalu apa nilai yang bisa dipetik dari film ini?
Film ini berpusar pada patriotisme yang dibarengi dengan profesionalisme tinggi. Bukan sekedar tutur kata seperti politikus-politikus yang pintar bermain kata tanpa ada aksi nyata. Film ini menceritakan pengorbanan dari para prajurit garda depan yang percaya mereka membela negaranya di daerah gurun tandus karena itu mencegah musuh masuk ke negaranya supaya orang-orang yang mereka cintai tetap bisa tinggal dengan nyaman.
Film ini mengajarkan komitmen pada tugas, kesetiakawanan, dan empati pada sahabat merupakan bagian tak terpisahkan dari keberhasilan seorang prajurit. Kepahlawanan Christ yang besar tampak dari ratusan orang yang berbaris di jalan dimana prosesi jenazahnya lewat sepanjang 320 km. Pembunuhnya, Eddie Ray Routh, baru bulan lalu tepatnya 24 Februari 2015 diputuskan bersalah dan dihukum penjara seumur hidup tanpa ada peluang untuk bebas.
Selain itu, film ini juga menggambarkan kekejaman perang dan bagaimana hal itu sampai merusak hati polos anak-anak yang mau melakukan pembunuhan terhadap musuh bersama bangsanya. Siapakah yang benar dan seharusnya dibela? Setiap cerita perang punya sisi yang dituturkan dari kacamata pembuatnya.***

Popular Posts