Resensi Film: “The Good Lie”, Bolehkah Berbohong?

“JANGAN bersaksi dusta tentang sesamamu manusia.” Demikian salah satu bunyi dekalog atau 10 Perintah Allah.
Sebagian besar agama menolak dusta/berbohong sebagai hal yang benar. Dusta telah menjadi senjata kejahatan dan tindakan salah dalam sejarah manusia. Ini bisa dilihat dari kisah Adam hingga kebohongan publik yang dibuat oleh para pejabat tertentu pada abad ini.
Banyak hal tentang kerusakan hidup manusia diakibatkan oleh dusta.
Tetapi The Good Lie, film produksi Warner Bros ini, mengangkat “berbohong” sebagai hal yang luhur. Apalagi setelah menyaksikan kisah empat bocah dari Sudan, Afrika, pasti Anda akan mengangkat topi dan merelakan berbohong dilakukan.
Pengungsian Kongo
Pada tahun 1983 terjadi perang sipil di Sudan yang mengakibatkan ribuan orang meninggal. Ribuan orang mengungsi. Mereka berjalan ribuan kilometer guna menemukan tempat yang aman dari ancaman perang sipil yang tidak mengenal ampun.

Ada semangat kebijakan yang mereka genggam sehingga selalu berusaha untuk bersama. “Jika engkau ingin pergi cepat, pergilah seorang diri. Jika engkau pergi jauh, pergilah bersama-sama.” Sehingga perjalanan ribuan kilometer itu serentak nampak menyatukan ribuan orang.
Umumnya para pengungsi tersebut menuju Kongo. Kamp pengungsian di Kongo yang dikelola oleh PBB memberikan tempat tinggal, makanan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan seadanya. Tetapi bagi beberapa yang beruntung akan memperoleh jalan hidup baru yakni ke Amerika untuk bekerja atau belajar.
Empat anak hilang
Dalam arus pengungsi tersebut, dihadirkan lima anak yatim piatu. Mereka bertahan dalam kebersamaan walau kelaparan, kelelahan dan serangan cuaca yang tak menentu dan datang silih berganti. Tersebutlah Mamere (Arnold Oceng), Jeremiah (Ger Duany), Paul (Emmanuel Jal) dan Abital (Kuoth Wiel) yang terpaksa berjuang tanpa Theo, kakak tertuanya yang di tengah perjalanan menuju Kongo diciduk oleh tentara sipil.

Theo menyerahkan dirinya kepada tentara sipil untuk melindungi 4 adiknya yang tengah tidur pulas diselimuti oleh rerumputan. Ia mengatakan bahwa ia seorang diri terpisah dari rombongan pengungsi.
Pada saat itu, Mamere menyaksikan sembunyi-sembunyi kakaknya diciduk dan mendengar kakaknya mengatakan bukan hal yang sebenarnya tentang keberadaan mereka. Theo berbohong agar empat adiknya tetap hidup.
Mamere kemudian menggantikan posisi Theo untuk menjadi ketua bagi Jeremiah, Paul dan Abital. 13 tahun kemudian nasib membawa keempat orang ini setelah bertahun-tahun tinggal di kamp pengungsian, untuk hijrah ke USA. Pemerintah Amerika menerima beberapa pengungsi untuk bekerja dan menempuh pendidikan di USA.
Kisah ketiga orang Sudan diekspos untuk menunjukkan jauhnya jarak kemajuan antara negara di Afrika dengan USA. Juga perbedaan budaya sangat kentara antara negara adi daya ini dengan negara terbelakang.

Film ini di satu sisi menunjukkan betapa gagapnya orang-orang Afrika tersebut dalam beradaptasi dengan lingkungan Amerika. Di sisi lain Amerika ditegur dengan kesederhanaan, merayakan kesatuan dengan alam dan ikatan kekeluargaan ala Afrika yang sangat simple dan penuh arti.
Berbohong untuk hidup
Setelah berselang beberapa tahun kemudian, keempat Sudanese ini mendapat kabar tentang Theo yang ternyata masih hidup. Lalu Mamere berinisiatif untuk pulang ke Kongo dengan bantuan Departemen Luar Negeri dan Imigrasi USA. Singkatnya, Theo berhasil ditemukan oleh Mamere di kamp pengungsian. Sampai kemudian Theo diberangkatkan ke Amerika dengan identitas yang bukan asli.

Pada bagian Mamere melepas kakaknya di bandara, terjadilah perbincangan singkat tentang good lie. Intinya Mamere memakai argumen dari kuliahnya bahwa terkadang seseorang tidak bisa mengatakan sesuatu yang sebenarnya demi keselamatan seseorang. Pada bagian itu mengajak penonton untuk berhenti sejenak.
Apakah good lie ini dibenarkan? Apakah demi alasan yang baik dan benar kita bisa berbohong? Atau tindakan tersebut sebenarnya bukan berbohong? Lalu penonton bisa mengembangkan, “Jadi apakah sebaiknya saya jangan mengatakan yang sebenarnya agar orang lain tidak sakit hati?”
Kembali ke film, Mamere merelakan Theo pergi sendiri menyusul adik-adiknya di Amerika. Ini saatnya ia membalas pengorbanan Theo yang belasan tahun sebelumnya telah menyelamatkan hidup mereka. Mamere dan Theo mewakili para penonton yang bergejolak tentang pertanyaan seputar good lie.
Ini dilemma moral yang saban hari dihadapi oleh banyak orang. Akhirnya, kedewasaan suara hati lah yang menjadi kunci setiap pribadi untuk bertanggung jawab atas tindakannya di hadapan dia yang selalu benar, Sang Kebenaran.***
Baca juga Resensi Film: “The Hobbit 3: The Battle of the Five Armies”: Kejahatan Bisa Menular

Popular Posts