Resensi Film: “The Iceman”, Membunuh tanpa Ekspresi dan Kejamnya Sedingin Es

MEMBUNUH tanpa ampun dan tidak pernah merasa bersalah adalah “pekerjaan” Richard “Richie” Kuklinski (Michael Shannon). Biasa dipanggil Pollack –nama ejekan untuk menyebut identitasnya sebagai keturunan Polandia–, Richie melakoni tugas dan pekerjaannya menjadi “Malaikat Pencabut Nyawa” itu lantaran melihatnya sebagai ‘tugas mulia’ sebagai kepala keluarga dan ayah dari dua putri manis-manis.
Dia membunuh karena sayang keluarga, merasa bertanggungjawab harus menghidupi Deborah “Debie” (Wynona Ryder) istri dan kedua anaknya: Annabel dan Betsy. Karena itulah, ketika  “ditembak” dengan desakan harus mau kerja dengan kelompok mafia pimpinan Roy DeMeo (Ray Liotta), dia serta merta langsung menyanggupinya.

Tes pertama yang dia harus lakukan sangat sederhana: menembak mati tanpa rasa ampun terhadap seorang pengemis di jalanan. Pengemis ini harus dieksekusi, hanya karena dia baru saja datang menggedor jendela mobil DeMeo untuk minta recehan. Namun, ulahnya dianggap mengganggu kelompok mafia ini. Dan tugas Richie adalah menyingkirkan pengemis itu tanpa ampun.
“Sedingin es kejamnya,” begitulah kira-kira kesan pertama kelompok mafia ini ketika mencermati bagaimana Si Pollack ini dengan santainya membantai pengemis malang itu dengan beberapa kali tembakan jarak dekat.
Itulah dunia Richie Pollack di jalanan. Konon, sesuai pengakuannya di peradilan Trenton di AS, Pollack sudah membunuh tak kurang dari 100-an orang. Aksi membunuh itu dia lakukan, karena dia hanya ingin memenuhi ‘pesanan’ Sang Bos, pemimpin kelompok mafia dimana dia bergabung masuk untukkerja dan ‘cari makan’ dari para begundal perampok sadis berselimutkan kekerasan ini.
Pollack dengan sadis membunuh demi bisa menghidupi keluarganya. Tragis bukan? Mencabut kehidupan orang untuk bisa hidup enak, nyaman dan tenang bersama keluarganya.
Sebuah potret hidup dunia perkotaan yang absurd, namun itu eksis di sekeliling kita terutama di permukiman-permukiman urban.
Kontradiktif
Antara kejam dan kasih sayang sungguh tipis dalam kehidupan Richie Kuklinski.
Di jalanan dia bisa menjadi bengis tanpa ampun, mencabut nyawa orang dengan tembakan atau sayatan pisau di leher. Bahkan, setelah menjalin hubungan dengan pembunuh bayaran keturunan campuran Belanda-Irlandia, Richie pun menjadi lebih ganas sekaligus bengis dalam melakoni pekerjaannya: mencabut nyawa.
Ia menggunakan sianida untuk menggorok nyawa orang. Praktik mutilasi dia lakukan dengan  mencacah mayat di sebuah gudang bersama rekannya berdarah Belanda-Irlandia dan menaruh ceceran daging manusia itu di freezer untuk kemudian dibuang ke tanah antar berantah.
Dunia Richie Si Pollack di jalanan mafia adalah lembaran-lembaran hitam. Sementara di keluarga, lembaran buku harian itu berwarna putih dan kadang merah merona, lantaran dia sangat memanjakan istri dan kedua anaknya. Ia benar-benar tipikal seorang ayah yang baik, bertanggungjawab pada keluarga dan melindunginya secara optimal.
Panggung kehidupan yang kontradiktif inilah yang membuat publik Amerika menjadi gempar, ketika akhirnya Richie Si Pollack berhasil diringkus polisi tahun 1986. Pengakuannya kepada penyidik makin membuat rakyat AS di New Jersey gerah: konon dia sudah berhasil membunuh lebih dari 100-an orang dan –menurut pengakuannya sendiri—“Saya tak pernah menyesali apa yang sudah saya lakukan itu (karena itu terjadi demi keluarga)”.
The Iceman hasil besutan sutradara Ariel Vrommen memanglah sebuah potret hitam-putih atas perjalanan  seorang manusia bermana Richard “Richie” Kuklinski dengan lakon hidup kontradiktif di atas. Meski film ini dirancangbangun dari novel berjudul The Iceman: The True Story of a Cold-Blooded Killer karya penulis Anthony Bruno, namun sejatinya Richard “Richie” Kuklinski alias Si Pollack ini benar-benar eksis dalam sejarah kontemporer masyarakat Amerika era 1974-an.
Si Pollack berhasil diringkus polisi tahun 1986 dan sejak itu pula “mata hatinya” yakni istri dan kedua putrinya yang dia sayangi tidak pernah berhasil dia temui lagi sejak dia masuk penjara seumur hidup. Bersama Roy DeMeo –pentolan mafia—yang telah memperkerjakannya, Si Pollack diganjar hukuman seumur hidup di balik bui.
Orisinalitas kekejaman Si Pollack yang sedingin es (batu) itu makin seronok, karena The Icemandibesut oleh Ariel Vrommen –sang sutradara—dengan memanfaatkan arsip wawancara dengan Si Pollack ‘asli’ sebagaimana muncul dalam sebuah dokumen berjudul Conversation with a Killeryang direkam HBO pada tahun 1993.
The Iceman ini sendiri bukanlah sebuah film kejam. Tidak terlalu banyak darah bercerceran di sepanjang film dingin ini. Bahkan, shots yang menampilkan tingginya rasa sayang Si Pollack terhadap keluarganya membuahkan kesan indah tentang film ini.
Namun, begitu melihat ekspresi muka yang serba dingin ketika Si Pollack mengeksekusi mati para musuhnya, sungguh The Iceman ini benar-benar catatan seluloid tentang sejarah kejam seorang Richard “Richie” Kuklinski.
Si Pollack adalah manusia bengis yang tega mencabut nyawa orang tanpa ekspresi alias sedingin es.***
Baca juga Resensi Film: “Killing Them Slowly”, Membunuh tanpa Jejak

Popular Posts