Cerpen: Melodrama di Negeri Komunis

Cerpennya Seno Gumira Ajidarma
PEREMPUAN terindah itu meluncur di atas es, setiap kali melewatiku dari tangannya muncul seekor burung merpati. Lapangan es di dalam tenda pertunjukan akrobat itu putih menyilaukan dalam cahaya lampu, membuat perempuan yang meluncur itu di mataku seperti keluar-masuk tabir cahaya, membuatnya terlihat seperti bidadari, barangkali, jika bidadari memang ada — di negeri ini segala sesuatu yang tidak kelihatan ujudnya tiada pernah diterima sebagai makna.


Tapi, aku telanjur mengenal kata bidadari sehingga perempuan terindah yang meluncur dengan satu kaki terangkat ke belakang dan mengembangkan tangan itu memang bagiku tampak sebagai bidadari, sesuatu yang muncul dari balik ketiadaan, begitu tiba-tiba dan penuh pesona, apalagi setiap kali melewati tempatku memotret, dari tangannya muncul burung merpati, seolah-olah merpati itu hanya untukku.

Setelah dua belas putaran, dua belas ekor pula burung merpati keluar dari tangannya, terbang mengikutinya seolah-olah memang memperpuan perempuan itu.

Segenap merpati itu putih, busana berkilatan perempuan itu putih, dan perempuan itu sendiri juga putih seputih-putihnya putih. Segalanya serbaputih seolah-olah tidak memberi kesempatan kepada warna lain, namun putih di dalam tenda ini adalah lebih baik dari kelabu. Di luar tenda ini, segalanya kelabu, gedung, jalanan, tatapan mata, semuanya kelabu. Hanya bendera-bendera raksasa berwarna merah, berkibar-kibar menggetarkan….”Tunggu aku di belakang, setelah pertunjukan,” katanya.

Begitulah, aku memotret, dan nanti aku akan menunggu. Dua belas merpati hinggap di tangannya yang mengembang. Ia menurunkan kakinya, dan meluncur mundur. Sorot lampu mengiringi ke mana pun ia pergi. Apakah yang sedang diberikan oleh perempuan yang meluncur dengan dua belas merpati di kedua lengannya itu? Keindahan? Ketenangan? Kebahagiaan? Senyumnya mengembang. Ia seorang perempuan yang betul-betul cemerlang. Sampai di manakah kiranya kecemerlangan bisa memudarkan penderitaan dalam kemiskinan?

Klik!

Kupindahkan ia ke dalam duniaku.

***

“Manusia adalah tuan dari segalanya,” ujarnya suatu ketika kepadaku.

“Itulah ajaran pemimpin kami.”Aku tertegun.

“Segalanya?”

“Ya. Segalanya. Pada masa penjajahan Jepang, rakyat kami memohon pertolongan Tuhan, tapi tidak terjadi perubahan apa-apa, jadi pemimpin kami mengatakan, segala sesuatu harus diperjuangkan oleh manusia, dengan menggunakan akal dan alat apa pun yang ada di sekitar kita. Ternyata perjuangan manusialah yang berhasil mengusir penjajah. Jadi, meskipun memuja Tuhan atau apa pun yang gaib tidak dilarang, pemimpin kami berpendapat hanya usaha manusialah yang bisa mengubah nasibnya sendiri.”1

Kulihat patung raksasa pemimpin negeri ini.

“Rakyat negeri kami sangat berterima kasih dan merasa sangat berutang budi kepada pemimpin kami, patung dan berbagai monumen di kota ini merupakan bukti kecintaan rakyat kami kepada sang pemimpin. Betapa pun beliau telah membimbing kami keluar dari nestapa penjajahan, sehingga kami sekarang bisa merasakan apa artinya hidup bahagia.”

Bahagia. Bukankah itu yang dicari manusia?

“Beliau adalah pemimpin abadi kami.”

Hmm. Abadi.

Di Balai Pembelajaran Rakyat kulihat banyak orang duduk dengan tekun. Mereka yang tidak mengerti isi buku yang dibacanya, boleh datang ke ruangan Tanya dan Jawab yang jumlahnya 250 kamar, tersebar di segenap lantai gedung mahabesar itu, dengan tiang-tiang raksasa, lantai marmer, dan lagi-lagi patung sang pemimpin dalam ukuran megah. Di setiap kamar tersedia seorang profesor, yang akan menjawab semua persoalan yang tidak bisa dimengerti oleh para pembaca buku itu. Segala bidang ilmu pengetahuan bisa dipelajari di dalam gedung itu, mulai matematika, sejarah, sampai bahasa — namun apabila pertanyaan mempersoalkan gagasan-gagasan sang pemimpin yang termuat dalam 5.000 risalah, maka jawabannya akan selalu mengarah kepada simpulan: sang pemimpin adalah kebenaran.

“Amerika selalu jahat kepada kami,” katanya lagi, “mereka selalu memberikan kesan yang buruk tentang kami kepada dunia.”

Baik dan buruk, benar dan salah — bagaimanakah hal itu boleh menjadi pasti? Kulihat sekeliling, meski wajah semua orang bagaikan serupa, tidak ada fesyen, dan negara berada di dalam kamar, anak-anak kulihat berlari-lari dengan pikiran bebas. Tapi sampai kapan?

“Sampai kapan?”

“Apanya?”

“Sampai kapan anak-anak hidup tanpa pengarahan negara?”

“Sampai mereka sekolah. Di negeri kami, sekolah adalah wajib dan gratis. Juga masih gratis di perguruan tinggi, meski tidak wajib lagi. Pemimpin kami sangat peduli kepada kesejahteraan jiwa, otak, maupun raga rakyat negeri ini.”

Barangkali kudengar. Barangkali tidak. Pikiranku tertuju kepada seorang perempuan yang tadi pagi kulihat di televisi: seorang perempuan yang meluncur di atas es dengan dua belas merpati yang hinggap pada kedua lengannya yang terkembang.

Ia sekarang berada di hadapanku, tapi dengan tanda bintang di topinya itu, kenapa ia jadi begitu berubah. Ia tidak sedang memainkan peran dalam opera rakyat. Bila sedang tidak meluncur di atas es ia selalu mengenakan seragam Pengawal Merah. Seragam itu berwarna cokelat tua kehijau-hijauan, seperti bumi dan langit dibanding warna putih kemilau jika ia meluncur di atas es dengan kaki terangkat ke belakang dan tangan terkembang.

Manakah yang lebih baik antara bumi dan langit? Aku tak tahu, namun matanya itu, matanya itu — di sebuah negeri di mana keajaiban dianggap kegaiban yang terlarang, bagaimanakah mata yang menatap dengan tajam, cemerlang, dan penuh gairah harus diberi nama?

Ia tersenyum, memegang tanganku sebentar, lantas hilang ditelan pintu gedung besar yang menganga dan seperti tidak akan pernah mengeluarkan orang yang sama ketika keluar lagi. Begitu banyak orang masuk ke gedung itu, tapi ketika keluar lagi mereka semua seperti serupa.

***

“Jangan marah,” katanya di telepon.

“Kenapa?”

“Barangkali aku tidak akan datang.”

Kami berjanji untuk bertemu di Lapangan Sang Pemimpin, di depan gedung dengan lambang palu, sabit, dan pena.

Ia tidak usah mengatakan barangkali. Ia pasti tidak akan datang. Maka kudatangi tenda hiburan rakyat yang juga gratis itu, menembus gelap malam dalam kota yang nyaris tiada berlistrik. Dari jauh ia sudah melihatku datang, ia berlari seperti kijang, membawaku hilang ke balik kegelapan.

“Mengapa kamu datang? Mengapa kamu datang? Apakah kamu tidak tahu kalau kamu selalu diawasi?”

Suaranya merupakan perpaduan antara cemas, gelisah, dan senang. Apakah yang harus kukatakan? Di negeri ini, segala gagasan adalah konkret, tidak ada yang abstrak. Perlambangan adalah pasti, dan tidak bisa ditafsir lain. Aku tidak mengerti kenapa aku datang. Apakah ia bisa mengerti, tentang seseorang yang tidak bisa mengerti? Adakah sesuatu yang bisa dimaklumi di luar kesadaran?

Jika memotret saja tidak cukup, apalagi yang bisa dilakukan seorang tukang potret? Meski hanya seorang tukang, aku tidak bisa bersikap sekadar sebagai tukang. Harus ada alasan yang kuat untuk memotret maupun tidak memotret sesuatu, dan tentu juga ada alasan yang kuat untuk membuatku menembus tirai nilai. Musik orkestra di dalam tenda sudah berbunyi — tidakkah ia mestinya sudah berloncatan dari ayunan satu ke ayunan lain di ketinggian?

“Mengapa kamu datang? Mengapa kamu datang?”

Pertanyaan itu mengiang, meski ia tidak mengucapkannya lagi. Kulihat melodrama di matanya, air mata menggenang berkilatan. Bibirnya merah dan basah.

Aku tidak perlu menjawab, karena tangannya merengkuh leherku.Kurasa mulutnya bau kimchi.

***

Enam belas tahun kemudian, sambil menyandang kamera digital, aku menunggu di depan gedung dengan lambang palu, sabit, dan pena itu lagi. Palu dan sabit adalah lambang buruh dan petani, lambang kelas pekerja, sedangkan pena adalah lambang kaum intelektual.

“Semangat kerja saja tidak cukup,” katanya dulu, “menurut pemimpin kami perjuangan juga memerlukan intelektualitas.”

Patung pemuda dan pemudi yang tangan kanannya mengacungkan bedil, pistol, palu, dan sabit, tangan kirinya sering juga membawa buku.

Enam belas tahun telah berlalu, apakah cara berpikirnya masih sama? Saat itu, di bawah pagoda Buddha 
pernah kutanya kepadanya.

“Tentu kamu tidak percaya kepada Buddhisme lagi?”

“Aku memang tidak pernah percaya,” katanya, “aku hanya percaya kepada diriku sendiri.”

Dunia sudah banyak berubah, mungkinkah ada yang tidak berubah?

Di samping kiri dan kanan gedung itu, masih terdapat potret besar Karl Marx dan Lenin.

“Di sebelah mana? Di bawah gambar Marx atau Lenin?”

“Marx,” kataku.Entah kenapa aku seperti ingin menjauhi gambar Lenin, yang telah membuat pemikiran Marx bersimbah darah. Sambil menunggu di bawah lampu terang benderang, kupandang fotonya. Ia sedang meluncur di atas es, dan matanya menatap ke arahku. Sebagian dari dua belas merpati itu hinggap di lengannya yang terkembang, sebagian lagi masih beterbangan mengikutinya.

Setelah aku memotretnya enam belas tahun yang lalu, ia memang tidak pernah muncul ke belakang panggung. Aku menunggu seperti orang tolol sampai pertunjukan selesai, dan ia tidak pulang bersamaku. Hatiku hancur ketika itu, meski barangkali tidak terlalu banyak alasan untuk memunyai perasaan begitu.

Kemudian, dari balik kegelapan, dari tangga jalan kereta api bawah tanah, muncul sesosok tubuh yang berjalan terpincang-pincang.

Aku terpana. Aku begitu kagum kepada seorang penari di atas es yang bisa terbang ke atas langsung meloncat dari ayunan satu ke ayunan lain dengan ringan, seperti betul-betul terbang, sehingga aku nyaris mengira ia betul-betul seorang bidadari — sangatlah jarang kemampuan seperti itu sekaligus dimiliki satu orang. Kini ia muncul dengan sebuah kruk di ketiaknya. Ia tidak lagi mengenakan seragam tentara dengan topi berbintang. Ia berbusana seperti petani, dengan caping dan celana khaki.

Di bawah potret raksasa Marx, segalanya menjadi jelas bagiku.”Kamu tidak tahu apa yang terjadi waktu itu — orang yang bertugas mengikuti kamu melaporkan perbuatan kita kepada atasanku, pemimpin rombongan akrobat yang sudah berkali-kali merayuku tanpa pernah berhasil. Kecemburuannya meledak menjadi usaha mencelakakan diriku. Ia telah mengerat tali ayunan yang dilemparkannya kepadaku, sehingga aku terjatuh ketika memegang pipa ayunan tempat kakiku biasa bergelantungan. Kami tidak pernah menggunakan jaring pengaman, karena kami sangat percaya kepada kemampuan kami yang terlatih. Perasaan cemburu tidaklah pernah menjadi bagian yang diperhitungkan disiplin berpikir kami.

“Aku terbayang bagaimana ia jatuh. Penonton yang tersentak melihat pipa itu lepas, dan bagaimana perempuan terindah yang berkilauan itu melayang ke bawah. Jatuh dari ketinggian seperti itu, hanya Tuhan yang tahu kenapa ia masih hidup. Gambaran tentang bagaimana ia jatuh itu terbayang berkali-kali dalam waktu yang singkat, berkeredapan dalam kepalaku seperti pijar lampu kilat. Seandainya ia bersayap, benar-benar bersayap, sehingga ia benar-benar bisa terbang seperti ia benar-benar bidadari. Seandainya, tapi apakah materialisme dialektik yang dianut negeri komunis ini memberi tempat kepada gagasan tanpa bentuk?3

“Kamu memang tidak tahu, karena tidak boleh ada yang terlihat buruk di negeri kami. Aku dilarikan ke rumah sakit lewat pintu yang lain, karena mereka tahu aku berhubungan dengan seseorang yang tidak jelas identitasnya. Bahkan aku pun tak tahu kamu itu siapa. Di negeri ini, gagasan tentang ketidakjelasan adalah sesuatu yang harus dijauhi, atau dihapuskan sama sekali, seperti bagaimana menghapuskan apa yang kamu sebut Tuhan….”

Lagu-lagu mars yang memuja Sang Pemimpin masih terdengar dari pengeras suara di kejauhan. Marxisme. Betapa gawat dalam pelintiran Leninisme. Apakah ia mengenal Lukacs dan Gramsci? Apakah negeri ini mempelajari Althusser dan mengenal Sekolah Frankfurt?4

Aku tercenung, sementara ia terus bercerita. Setelah diadakan penyelidikan atas insiden itu, kejahatan atasannya diketahui, dan langsung mendapat hukuman memasuki lembaga reformasi selama sepuluh tahun, untuk mengevaluasi kembali kelakuannya.5 Namun, ia yang telah menjadi cacat tidak bisa berperan seperti bidadari lagi, bahkan karena cacatnya ia harus tinggal jauh di luar kota — tak pernah jelas apa alasannya. Padahal di negeri ini untuk bepergian antarkota saja memerlukan izin. Untuk menemuiku sekarang, ia memerlukan seribu satu izin, itu pun pasti berbohong, karena ia tidak mungkin berkata jujur telah mencintai seseorang yang bukan suaminya.

Kulihat wajahnya yang kini penuh dengan kerut, bagiku ia selamanya indah seperti ketika pertama kali aku mengenalnya. Perasaanku tidak pernah berubah, tapi beberapa jam lagi aku harus pulang ke negeriku.
Pulang. Aku tidak selalu suka kata itu, meski suka atau tidak suka aku harus selalu pulang ke suatu tempat entah di mana. Terus terang, sebetulnya aku tidak pernah tahu harus pulang ke mana — itulah sebabnya aku selalu mengembara.

Kuserahkan foto itu kepadanya. Ia menghela napas memandang dirinya meluncur dengan satu kaki di lapangan es yang putih, muncul dari balik tabir cahaya dengan busana putih berkilauan. Kedua tangannya terkembang dengan sebagian dari dua belas merpati itu hinggap dan sebagian lagi masih beterbangan mengikutinya. Ia memandang dirinya sendiri yang sekarang sedang menatap kepadanya.

Aku terdiam tidak tahu harus berbuat apa. Lagu-lagu mars sudah berhenti. Lapangan Sang Pemimpin itu sepi, hanya Marx dan Lenin dalam kesunyian lampu-lampu. Seluruh kota masih gelap seperti dulu.Ia mengangkat wajahnya dari foto itu, dan menatapku. Enam belas tahun kemudian, masih juga kulihat melodrama di matanya yang berlinang-linang. [***]
Baca juga Cerpen: Penjaga Malam dan Tiang Listrik
Pyongyang, 29 Agustus 2002, 23.35
Catatan Kaki:
1. Falsafah ini disebut Gagasan Juche, yang berlaku sebagai ideologi negara Republik Rakyat Demokratik Korea: manusia adalah tuan dari segala sesuatu dan menentukan segalanya, dengan kreativitas dan kesadaran (Chajusong), yang sebagai makhluk sosial harus mengubah dunia demi kepentingan massa. Penggagas falsafah ini adalah Kim Il Sung. Baca misalnya Kim Jong Il, On The Juche Idea (1982).
2. Kimchi: makanan khas Korea.
3. Lenin dalam Materialism and Empirio-Criticism (1908), telah keliru mengatasnamakan Marxisme sebagai ‘materialisme dialektik’, seperti disalahpahaminya dari Plekhanov, karena mentornya tersebut lebih melakukan pendekatan dialektik daripada materialis. Plekhanov sendiri menggunakan istilah ‘materialis dialektik’. Menurut David Hawkes dalam Ideology (1996), keduanya tersesat dalam memahami Marx. Rincian terdapat pada bab ‘Marxism’, h. 106-9.
4.Menurut Kim Jong Il, Kimilsungisme yang berdasarkan Juche harus dibedakan dari Marxisme-Leninisme. Namun risalah Kim Jong Il, On Correctly Understanding The Originality of Kimilsungism (1984), lebih banyak merupakan pernyataan daripada perbincangan kritis. Pembaca buku Kim Il Sung, On Juche in Our Revolution (1982), juga akan menemukan jalan pikiran yang selalu mengacu kepada komunisme.
5. Baca Bab 8, Pasal 1, Ayat 145 dalam The Criminal Law of the Democratic People’s Republic of Korea (1992), h. 26-7.

Popular Posts