ANUGERAH LAUT INDONESIA : SAVE RAJA AMPAT !
Berkat dan Tanggung Jawab
Di hadapan kita terpampang berkat dan panggilan tanggung jawab. Ciri geografis Indonesia menjadikan kita bukan hanya bangsa maritim, tetapi juga penjaga salah satu karya Allah yang terindah dan terkaya : laut Indonesia. Terindah karena bentang fisik, ragam rupa, dan ragam warna; terkaya karena kedalaman keanekaragaman hayati, keragaman dan kekuatan ekosistemnya, serta kontribusi besarnya pada biosfer. Laut-laut yang menyatukan kita adalah anugerah, reservoir kehidupan, budaya, dan kekuatan yang tak terhingga. Ya, Indonesia adalah sebuah negara megabiodiversitas laut, sebuah pengakuan akan keunikan dan kekayaan hayati yang ada padanya.
Namun, meminjam ungkapan Pakdhe Ben dalam film Spiderman, anugerah yang besar menuntut tanggung jawab besar pula. Kita diundang untuk menumbuhkan penatalayanan yang setia, yang selaras, yang lestari, sejalan dengan seruan ekologi integral ensiklik Laudato Si'.
Arti Penting Laut Indonesia
Laut Indonesia adalah jantung maritim dunia, sebuah biosfer raksasa yang kaya raya dan strategis. Mari kita selami keajaiban-keajaibannya :
1. Megabiodiversitas Laut dan Pusat Keanekaragaman Hayati Global: Indonesia diakui secara global sebagai negara megabiodiversitas, dan kekayaan ini sangat menonjol di sektor kelautan. Sebagai bagian integral dari Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle), perairan Indonesia menampung sekitar 76% dari spesies karang dunia (lebih dari 600 spesies karang pembentuk terumbu) dan 37% dari spesies ikan terumbu karang dunia (lebih dari 3.000 spesies) (CTI-CFF, 2018; Burke et al., 2011). Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah episentrum bagi evolusi dan sebaran spesies laut tropis. Selain itu, Indonesia juga memiliki:
a) Hutan Mangrove Terluas di Dunia: Dengan luas sekitar 3,36 juta hektar, menyumbang 23% dari total luas mangrove global (Kemenko Marves, 2023). Hutan mangrove ini bukan hanya habitat penting, sekaligus benteng alami vital dan penyerap karbon biru yang sangat efisien.
b) Hamparan Padang Lamun yang Luas: Padang lamun menjadi pembenihan dan tempat mencari makan bagi spesies ikonik seperti dugong dan penyu hijau, serta berperan sebagai penyimpan karbon.
c) Kekayaan Ikan Pelagis (ikan yang hidup di perairan terbuka, di atas lapisan air, tidak dekat dasar) dan Demersal (ikan yang hidup di dasar laut/zona demersal): Perairan Indonesia adalah jalur migrasi dan habitat bagi populasi ikan bernilai ekonomi tinggi seperti tuna, cakalang, dan berbagai jenis ikan demersal yang menjadi fondasi perikanan rakyat.
d) Keanekaragaman Mamalia Laut: Indonesia adalah rumah bagi berbagai jenis paus, lumba-lumba, dugong, dan spesies karismatik lainnya, yang keberadaannya menandakan kesehatan ekosistem laut.
e) Potensi Genetik dan Bioprospeksi (sumber daya hayati yang memiliki nilai manfaat atau ekonomi): Keanekaragaman hayati yang tinggi ini menyimpan potensi tak terbatas untuk penemuan senyawa bioaktif baru, yang dapat diaplikasikan dalam farmasi, kosmetik, dan industri lainnya (misalnya, enzim dari mikroba laut atau senyawa antikanker dari spons laut).
2. Sumber Pangan Utama dan Pilar Ketahanan Pangan Nasional: Sektor perikanan adalah tulang punggung ekonomi dan ketahanan pangan bagi jutaan rakyat Indonesia. Indonesia adalah produsen perikanan tangkap terbesar kedua di dunia dan produsen akuakultur terbesar keempat (FAO, 2022). Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional mencapai 2,8% (BPS, 2023), namun dampak sosial-ekonominya jauh lebih besar, terutama bagi masyarakat pesisir. Laut menyediakan protein esensial bagi sebagian besar penduduk, mencapai rata-rata konsumsi ikan per kapita sekitar 56,39 kg pada tahun 2022 (KKP, 2023).
3. Pengatur Iklim Global dan Penyangga Lingkungan Hidup: Laut Indonesia berperan penting dalam regulasi iklim global dan regional. Arus Lintas Indonesia (Arlindo), yang mengalirkan air hangat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia melalui perairan Indonesia, adalah salah satu elemen kunci dalam sirkulasi laut global yang memengaruhi pola cuaca, curah hujan, dan iklim dunia, termasuk El Niño dan La Niña. Ekosistem pesisir Indonesia seperti mangrove dan lamun adalah penyerap karbon biru (blue carbon) yang sangat penting. Mangrove dapat menyimpan karbon 5 kali lebih banyak per hektarnya dibandingkan hutan tropis daratan (Alongi, 2014). Hutan mangrove dan terumbu karang berfungsi sebagai benteng alami, melindungi garis pantai Indonesia yang panjang dari abrasi, gelombang pasang, tsunami, dan dampak ekstrem cuaca, mengurangi energi gelombang hingga 90% (Ferrario et al., 2014).
4. Jalur Perdagangan Internasional Strategis dan Penghubung Budaya Nusantara: Sebagai negara kepulauan yang terletak di antara dua samudra besar (Pasifik dan Hindia) dan dua benua (Asia dan Australia), Indonesia memiliki posisi geostrategis yang krusial. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah jalur vital bagi perdagangan maritim internasional, Sekitar 40% dari total volume perdagangan dunia melewati perairan Indonesia. Laut Indonesia adalah arteri ekonomi global yang menghubungkan Asia Timur, Eropa, dan Amerika. Laut adalah pemersatu, penghubung budaya antar pulau, pembentuk identitas dan tradisi maritim yang kaya di seluruh Nusantara.
Ancaman dan Kerentanan
Anugerah laut Indonesia yang luar biasa ini dihadapkan pada tantangan-tantangan amat besar
Penangkapan Ikan Berlebihan (Overfishing) dan Ilegal, Tidak Dilaporkan, Tidak Diatur (IUU/(Illegal, Unreported and Unregulated Fishing): Lautan Indonesia menderita akibat eksploitasi berlebihan dan praktik IUU Fishing yang merajalela. Diperkirakan 30% dari stok ikan di perairan Indonesia mengalami overfished, dan sebagian besar sisanya mendekati status tangkapan maksimum berkelanjutan (KKP, 2021). Praktik IUU Fishing diperkirakan menyebabkan kerugian negara US$ 20 miliar per tahun dan merusak ekosistem laut secara masif (UNODC, 2020). Jaring pukat harimau (trawl), bom ikan, dan sianida adalah metode yang sangat merusak, menghancurkan terumbu karang, habitat dasar laut, dan menangkap spesies non-target dalam jumlah besar (bycatch). Ini mengancam kelangsungan hidup spesies ikan, merusak struktur jaring makanan, dan mengancam penghidupan nelayan kecil yang bergantung pada kesehatan laut.
Polusi Laut yang Mengkhawatirkan dan Dampak Ekonomi-Sosialnya: Indonesia adalah penyumbang sampah plastik laut terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok, dengan estimasi 1,29 juta ton sampah plastik per tahun yang bocor ke laut (Jambeck et al., 2015). Polusi plastik ini bukan hanya masalah estetika; ia mencemari habitat laut, mencemari biota laut yang kita konsumsi, dan masuk ke rantai makanan manusia. Setiap tahun, jutaan hewan laut, termasuk penyu, dugong, dan mamalia laut, mati akibat terjerat atau menelan sampah plastik. Selain itu, limbah industri, domestik, dan pertanian yang mengandung bahan kimia berbahaya, nutrisi berlebih, dan mikroba patogen juga menyebabkan pencemaran air yang meluas. Ini memicu zona mati (hipoksia/anoksia) di beberapa wilayah pesisir, di mana kadar oksigen sangat rendah sehingga tidak ada kehidupan laut yang bisa bertahan, dan menyebabkan algal blooms berbahaya yang meracuni laut dan mengganggu perikanan serta pariwisata.
Kerusakan Habitat Kritis yang Parah: Ekosistem pesisir vital seperti terumbu karang, mangrove, dan padang lamun di Indonesia mengalami degradasi yang parah. PUSLITBANG KKP (2020) menyebut lebih dari 30% terumbu karang di Indonesia berada dalam kondisi rusak atau sangat rusak akibat dari penangkapan ikan yang merusak (bom ikan, sianida), polusi, pengerukan, juga dampak perubahan iklim. Deforestasi mangrove untuk tambak udang, perkebunan kelapa sawit, dan pembangunan pesisir menyebabkan hilangnya sekitar 0,5 juta hektar mangrove dalam dua dekade terakhir (Giri et al., 2011), menghilangkan benteng alami terhadap bencana dan nurseri penting bagi biota laut. Kerusakan padang lamun juga terjadi akibat pengerukan, pembangunan, dan polusi, mengancam spesies herbivora kunci seperti dugong dan penyu.
Dampak Perubahan Iklim yang Akut: Kenaikan suhu laut global dan asidifikasi laut memberikan tekanan yang luar biasa pada ekosistem laut Indonesia. Pemutihan karang massal (mass coral bleaching) yang terjadi berulang kali, dipicu oleh gelombang panas laut, menghancurkan banyak terumbu karang di Indonesia, mengurangi kemampuan mereka untuk pulih (Siegel et al., 2021). Asidifikasi laut akibat penyerapan CO2 berlebih, mengurangi ketersediaan ion karbonat, menyulitkan organisme pembentuk cangkang dan rangka (misalnya karang, moluska) untuk tumbuh dan bertahan hidup, mengancam dasar jaring makanan (Doney et al., 2009). Kenaikan permukaan air laut juga mengancam pulau-pulau kecil berpenduduk dan masyarakat pesisir di Indonesia, menyebabkan erosi, intrusi air asin, dan hilangnya lahan, mengakibatkan krisis sosial, ekonomi, dan budaya yang mendalam.
Panggilan Penatalayanan/Stewardship Umat Allah
Melihat anugerah dan ancaman, kita dipanggil untuk memahami dan memikul tanggung jawab besar. Selama ini "Kita telah tumbuh dengan berpikir bahwa kita adalah pemilik dan penguasa alam, yang diizinkan untuk menjarahnya" (Paus Franiskus dalam LS 2). Sebuah pengkhianatan atas kepercayaan Allah.
Laut sebagai Ciptaan yang Sungguh Amat Baik: Kitab Kejadian 1:10 menulis, "Lalu Allah menamai yang kering itu darat, dan kumpulan air itu dinamai-Nya laut. Allah melihat bahwa semuanya itu baik." Laut Indonesia adalah wujud nyata dari "kebaikan" itu. Tanggung jawab kita tak sekadar mengelola sumber daya, tetapi merawat segenap ciptaan yang memiliki nilai intrinsik karena keberadaannya sendiri, bukan hanya karena manfaatnya bagi kita (LS 69).
Keadilan Ekologis dan Sosial: Kerusakan laut Indonesia paling berdampak pada masyarakat pesisir dan nelayan kecil—mereka yang paling rentan dan bergantung langsung pada kesehatan laut. "Jeritan bumi" dan "jeritan kaum miskin" adalah satu dan sama (LS 49). Penyelesaian masalah laut harus berakar pada keadilan, upaya konservasi tak boleh mengorbankan kesejahteraan masyarakat lokal, melainkan memberdayakan mereka sebagai penjaga.
Pertobatan Ekologis: Kita harus mengakui dosa kolektif kita dalam merusak laut, menumbuhkan rasa syukur atas kemurahan hati Allah yang memancar melalui keindahannya, dan berkomitmen hidup harmonis dengan segenap ciptaan. Laut dan segenap isinya adalah saudara dan saudari kita.
Tanggung Jawab Bersama: Mengingat skala anugerah dan ancaman laut Indonesia, tanggung jawab ini tidak bisa dipikul satu pihak saja. Sinergi pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, komunitas adat, dan tentu saja, umat beriman harus dibangun. Implementasi kebijakan dan hukum yang kuat, riset yang berkesinambungan, inovasi teknologi, dan partisipasi aktif masyarakat adalah kunci.
Kita dipanggil menjadi "perawat-pengasuh yang baik dan bijaksana" (Lukas 12:42), untuk merawat karunia ini dengan integritas dan visi jangka panjang. Yang mampu menghentikan kerusakan adalah tindakan nyata mengakhiri kerakusan. Kerakusan dalam gaya hidup dan eksploitasi alam. Berani kawan?
Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com
Disclamer: Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI
Dari Sejarah : Pembentukan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 428/Kpts/Org/7/1978 tanggal 10 Juni 1978, dibentuklah 8 Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Direktorat Jenderal Kehutanan kala itu. BKSDA memiliki tugas pokok pemangkuan taman pelestarian alam, hutan suaka alam dan hutan wisata serta pemanfaatan, pengembangan, dan pengamanan sumber daya alam. Ini adalah peristiwa penting dalam sejarah konservasi lingkungan di Indonesia.