"Sembilan Pilar Paroki Hijau (Bagian 1)"
Apa saja pilar-pilar Paroki Hijau ? Hari ini dan esok, kita akan bersama mengolah aspek-aspek kunci dari paroki hijau. Yuk kita cermati satu satu !
1. Kampanye Membangun Kesadaran Umat
Di jantung paroki ekologis terletak sebuah revolusi kesadaran - sebuah pencerahan kolektif bahwa merawat bumi bukan sekadar aksi sosial, melainkan panggilan iman yang radikal. Meskipun hampir semua umat Katolik percaya pada perubahan iklim, hanya sedikit yang memahami kaitan teologis antara iman dan ekologi, dan lebih sedikit lagi yang menjadikannya gerakan kongkrit di tengah masyarakat. Jurang pemahaman dan tindakan inilah yang harus dijembatani melalui kampanye sistematis.
Kesadaran ekologis tumbuh subur ketika dikaitkan dengan narasi
penciptaan (Kejadian 2:15) dan teologi sakramental. Dalam hal ini pendekatan
berbasis nilai-nilai religius jauh lebih efektif daripada sekadar data ilmiah
dalam mengubah perilaku.
Kampanye kesadaran di tingkat paroki harus menjadi "gerakan
budaya" yang menyentuh seluruh aspek kehidupan menggereja - dari altar
hingga dapur paroki, dari homili hingga obrolan warung kopi. Ketika ekologi
menjadi "bahasa sehari-hari" komunitas, saat itulah pertobatan
ekologis yang diminta Laudato Si' (§216) menjadi nyata.
Penerapan:
Kampanye bisa dilakukan secara langsung melalui perayaan ekaristi, pertemuan umat, pemasangan spanduk, stiker dan pamflet, media paroki baik media fisik maupun daring.
2. Menanam Spiritualitas Laudato Si' di Paroki
Spiritualitas ekologis adalah jiwa yang menghidupkan paroki hijau - sebuah cara pandang yang melihat alam bukan sebagai latar belakang, melainkan sebagai "komuni sakramental" (Berry, 2009). Krisis ekologis adalah undangan untuk menemukan kembali spiritualitas ekologis yang mendalam."_ demikian Ensiklik Laudato Si’ no 14 menulis. Penemuan kembali spiritualitas akan memampukan kita membebaskan diri dari tirani konsumerisme. Tirani konsumerisme berakhir bila kita mampu mewujudkan "ekosentrisme religius" - sebuah paradigm yang menempatkan kosmos sebagai subyek, bukan sekadar obyek eksploitasi, meminjam istilah Rm. Thomas Berry. Komunitas yang mengintegrasikan spiritualitas Laudato Si' dalam liturgi mengalami peningkatan partisipasi aksi lingkungan, dibanding paroki dengan pendekatan sekuler semata.
Penerapan: liturgi ekologis, pertemuan umat, doa dan rosario
ekologis, (buku doa laudato si’ terj. Rm Martin Harun dapat dimanfaatkan),
Retret/rekoleksi ekologis umat, Peziarahan dan jalan salib ekologis.
3. Mengembangkan Komitmen Kuat Pekerja Pastoral Setempat
Pekerja pastoral adalah jantung dari gerakan paroki ekologis. Tanpa komitmen radikal dari mereka yang berada di garis depan pelayanan, visi ekologis hanya akan menjadi slogan kosong. Paroki dengan pastor yang terlibat langsung dalam aksi lingkungan memiliki lebih banyak program berkelanjutan dibanding yang tidak. Itu mengapa dalam Pastores Dabo Vobis §15 tahun 1992, Paus Yohanes Paulus II, 1992 menekankan bahwa formasi imam harus mencakup "kepedulian terhadap masalah-masalah sosial dan ekologis zaman ini."
Formatio pada aktivis awam juga harus semakin dikuatkan, bukan semata-mata untuk pelayanan pastoral yang lebih baik, tetapi sungguh menjadikan mereka sebagai rasul awam, khususnya rasul/misionaris ekologis. Pelatihan ekologi integral meningkatkan efektivitas pastoral.
Pengarusutamaan ekologi dalam pelayanan pastoral dilakukan melalui integrasi isu ekologi dalam berbagai instrumen dan dokumen reksa pastoral yang ada.
Penerapan: program kepemimpinan ekologis bagi pastor, diakon, dan
katekis, kursus evangelisasi ekologi, programasi paroki yang ekologis, pedoman
tata kelola paroki yang ramah lingkungan.
4. Membangun Kehidupan Komunitas Umat Paroki yang Ekologis dan Berkelanjutan
Paroki yang sejati adalah jaringan hidup di mana setiap anggota saling terhubung dalam semangat ekologi integral. Kita membutuhkan pertobatan ekologis yang melibatkan seluruh komunitas Kristiani. Paroki hijau didasari kesadaran bahwa segala sesuatu saling berhubungan, karena itu kepedulian terhadap alam tak terpisahkan dari Gereja sebagai komunitas dan Gereja dalam tugas kenabiannya mewujudkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Konsep "social ecology" dari Bookchin (1982) melihat ekologi sebagai basis relasi sosial.
Komunitas Basis Kristiani Ekologis (KBKE) adalah jaringan hidup
umat beriman yang merespons krisis ekologi melalui tindakan nyata berbasis
iman, menggabungkan spiritualitas, ekologi, dan keadilan sosial dalam satu
nafas. Berbeda dengan program lingkungan paroki yang bersifat top-down, KBKE
lahir dari bawah, mengakar dalam kehidupan sehari-hari, dan sering kali menjadi
penggerak perubahan radikal di tingkat lokal. Gerakan komunitas basis ekologis
harus direvitalisasi kembali di Indonesia di tengah ancaman krisis lingkungan
yang kita hadapi.
Bentuk penghayatan ekologis secara khusus dapat menjadi karakter khas paroki, paroki desa, paroki gunung, paroki-paroki di sekitar gunung dengan ancaman erupsi dan kekuatan kebudayannya, paroki-paroki laut seperti di Keuskupan Pangkal Pinang, dan lain-lain.
Penerapan: Komunitas Basis Ekologis, Kelompok belajar Laudato Si', Komunitas konservasi paroki (umat pelindung mata air, perawat sungai dkk), *TIM KCLH Paroki, kelompok pendampingan untuk keluarga yang ingin bertransisi ke gaya hidup hijau, "klinik lingkungan" untuk konsultasi pengelolaan sampah dan energi.
Hari ini kita belajar 4 aspek penting Paroki Hijau. Esok kita akan memperdalam sisanya. Orang-orang terlatih untuk bertanya dengan jemari saling menunjuk “ siapa yang paling bersalah atas keadaan ini ?”, masyarakat terlatih untuk melarikan diri dengan berkata, “ini bukan urusan kita, ini bukan tanggung jawab kita”.
Kita tahu, itu bukan cara berpikir dan bertindak Umat Allah. Kita
percaya satu-satunya cara terbaik adalah segera bertindak mengatasinya. Ambil
peranmu kawan, dan mainkan !
Cyprianus Lilik K. P
disclaimer : tulisan ini disusun dari berbagai sumber dan bantuan
AI
Dari Sejarah :
6 April 1973 - Publikasi "Small is Beautiful" oleh E.F.
Schumacher, sebuah buku ikonik yang mengkritik ekonomi industri dan
memperkenalkan konsep pembangunan berkelanjutan diterbitkan pertama kali di
Inggris.