"CUSTOS CREATI SUM, ERGO SUM"
"Kita tidak pernah begitu manusiawi seperti ketika kita peduli pada yang paling rapuh di antara kita - termasuk bumi yang terluka." (lih. Laudato Si', 25)
a. Sebuah Peperangan Lain
Di lorong-lorong pusat perbelanjaan yang terang benderang, di
antara deretan toko yang manekawarna, di riuhnya jalanan kota, dua cara hidup,
dua cara pandang bertarung : budaya ekologis versus budaya konsumerisme yang
menggurita. Ini tentu bukan sekadar soal kita akan belanja apa, melainkan
pertempuran eksistensial antara hak masa depan dan hasrat masa kini, antara
kebebasan kritis manusia versus belenggu ideologi konsumtif. Tentang makna
menjadi manusia merdeka dan cara hidup yang menghormati bumi dan segenap
makhluk, karena eksistensi hidup bukanlah “aku belanja maka aku ada.”
b. Dua Altar, Dua Ibadah
Di altar konsumerisme milyaran orang beribadah. Altar konsumerisme menjanjikan kebahagiaan dalam kemasan plastik, identitasku adalah merek yang aku kenakan, kepuasan sesaat yang tanpa akhir. Sementara di sudut sana, di altar ekologis paroki kita menemukan sukacita dalam kesederhanaan" (St. Fransiskus), jati diri kita adalah penjaga taman Tuhan, pembela mereka yang lemah dan tertindas. Bahwa kepuasan sejati kita tercipta dari relasi kita yang mendalam dengan ciptaan. Akar kegembiraan kita adalah ketika kita mampu, mengasihi, mengasihi dengan cinta yang sedalam-dalamnya yang kita punya. Ya. Serupa dengan Lelaki Muda dari Nazareth itu, yang mengasihi kita dengan cara yang sederhana, sampai paripurna.
Di Paroki St. Theresia, ada tradisi unik setiap Jumat pertama: umat diajak membawa satu barang bekas yang masih layak pakai untuk ditukarkan. "Ini bukan pasar loak," kata Pastor Paroki, "ini sekolah syukur - belajar melihat nilai dalam apa yang sudah kita miliki."
Kitab suci konsumerisme adalah iklan-iklan yang menggoda, ritualnya belanja online tengah malam, dengan berjuta nabi-nabi selebriti dan influencer. Sementara di tangan kita, tergenggam Alkitab dan Tradisi Suci, ensiklik Laudato Si’ dengan hosti organik, bersama Kristus, St. Fransiskus, dan St. Bonaventura.
"Kami menemukan," tutur Ibu Agnes yang memimpin bank sampah paroki, "bahwa setiap botol plastik yang kami daur ulang adalah doa tanpa kata - doa syukur atas ciptaan Tuhan."
Budaya Konsumerisme melulu ingin memiliki, sekarang ini juga (instant gratification), karena misi hidup adalah memenangkan kompetisi gengsi melawan tetangga dan rekan kerja. Sementara Budaya Ekologis iman kita adalah soal bagaimana ber- tanggung jawab, melintas generasi (demi anak cucu dan ciptaan lain sesudah kita), dalam solidaritas ekologis, solidaritas lintas spesies.
Di Lingkungan St. Vincentius, ada sebuah "perpustakaan alat": gergaji, bor, dan perkakas lain yang bisa dipinjam. "Kami belajar," kata pengurusnya, "bahwa kebahagiaan sejati bukan memiliki banyak alat, tapi bisa meminjamkannya dengan penuh kasih."
c. Jalan Pertobatan Ekologis, Jalan Pembebasan
"Krisis ekologis adalah konsekuensi dramatis dari aktivitas
manusia yang tak terkontrol." Ungkap Paus kita dalam Laudato Si' no. 26.
Di paroki kita, pertobatan ini menjelma nyata :
• Pertobatan mata: belajar melihat keindahan dalam barang bekas
• Pertobatan tangan: belajar memperbaiki alih-alih membuang
• Pertobatan hati: belajar mencintai ciptaan seperti Tuhan
mencintainya
Pak Bambang, pensiunan yang menjadi relawan kebun paroki, berbagi: "Dulu saya mengukur hidup dari isi garasi. Sekarang saya belajar mengukur hidup dari jumlah benih yang bisa saya tabur."
Ini bukan penolakan total kita terhadap modernitas, tapi penemuan
cara hidup alternatif:
• Tidak anti-teknologi, tetapi pro-teknologi yang melayani
kehidupan
• Tidak anti-kemajuan, tetapi pro-kemajuan yang berkelanjutan
• Tidak anti-ekonomi, tetapi pro-ekonomi yang berkeadilan
Anak anak muda di paroki, mereka membuat aplikasi
"TukarBaju" - platform pertukaran pakaian bekas. "Ini revolusi
digital alami kami," kata salah satu penggagasnya.
d. Kemenangan-Kemenangan Kecil yang Mengubah Dunia
Di paroki kita, setiap tindakan kecil adalah proklamasi
kemerdekaan :
• Membawa botol minum sendiri adalah deklarasi kebeasan dari
industri air kemasan
• Naik sepeda ke gereja adalah deklarasi kemerdekaan dari budaya
mobil
• Merawat kebun paroki adalah merdeka dari belenggu mall dan pasar
swalayan
"Kami menemukan," kata tim liturgi paroki, "bahwa hosti dari gandum lokal, tidak hanya lebih ramah lingkungan, tapi juga lebih terasa 'hidup' dalam Ekaristi."
Ini bukan panggilan untuk menjadi sempurna, melainkan sebuah
panggilan untuk memulai:
• Hari ini aku akan membawa tas belanja sendiri
• Minggu ini aku akan menggunakan angkutan umum
• Bulan ini aku akan membiasakan gaya hidup yang ramah bumi
"Kita dipanggil untuk menjadi instrumen Allah Bapa, agar planet kita menjadi apa yang Ia impikan ketika Ia menciptakannya." (lih. Laudato Si', 53).
Ecologicus sum, ergo sum !
Cyprianus Lilik K. P
disclaimer : tulisan ini disusun dari berbagai sumber dan bantuan
AI