HIKAYAT: Abu Nawas “Raja dan Abu Nawas Jadi Pengemis”
Abunawas
kaget, ketika tiba-tiba pesuruh menuju ke istana.
Disana
telah menunggu Baginda yang tengah duduk tegap di Singgasana istana.
“Hai
apa kabar, Abunawas?” sapa Baginda. “Aku benar-benar mengharap bantuanmu.”
“Bantuan
apa, Baginda?” Abunawas balik bertanya. “Begini, Abu,” Baginda mulai bercerita,
“Aku
dengar Tuan Habul sudah mulai membangkang terhadap kewajiban negara.
Pembantu-pembantuku
di daerah melaporkan kalau dia sudah tidak mau lagi membayar zakat.
Padahal
dia orang yang kaya raya, lho!”
“Mengapa Baginda tidak panggil saja dia ke
istana?
Lantas
jebloskan ke dalam penjara. Habis perkara.”
“Sebenarnya
bisa saja aku berbuat begitu. Tapi apa tidak ada cara lain? Soalnya sayang
kalau aku menghukumnya.
Bagaimana
pun dulu dia adalah orang yang paling rajin membayar zakat. Tapi entah mengapa,
semakin dia kaya,semakin malas pula dia membayar zakat.”
Sebenarnya
kalau ingat nama Tuan Habul, Abu nawas inginnya dia dipenjara.
Karena
seantero negeri tahu, kalau Tuan Habul orang yang sangat pelit. Hampir tidak
ada orang yang menyukainya. Kecuali mungkin antek-anteknya saja. Tapi karena
ini perintah Baginda, mau tak mau Abu nawas ikut pula memikirkan jalan
keluarnya.
“Begini
saja, Baginda,” usul Abu nawas. “beri hamba kesempatan berpikir untuk membuat
dirinya sadar.
Tapi tentu saja selama berpikir, hamba tidak
bisa bekerja mencari nafkah buat keluarga.
Oleh
sebab itu hamba minta ganti rugi selama hamba berpikir menyelesaikan masalah
ini.”
“Sudah
kuduga sejak semula. Kau pasti meminta imbalan kalau kuminta bantuan.
Ini,
bawa!” ujar Baginda kesal. Baginda mengeluarkan uang dua ratus ribu dinar
kepada Abu nawas.
Sambil
cengar-cengir, Abunawas membawa pulang uang pemberian Baginda.
Seminggu
kemudian Abunawas datang ke istana. Dia datang dengan segudang rencana yang
telah disusunnya.
“Bagaimana,
Abu nawas? Sudah ketemu jalan keluarnya?” tanya Baginda.
“Beres,
Baginda. Cuma caranya Baginda dan saya harus menyamar jadi pengemis. Apakah
Baginda bersedia?”
Semula
Baginda agak kaget juga mendengar usul Abu nawas.Tapi karena keinginan kuat
menyadarkan Tuan Habul, Baginda akhirnya bersedia.
Dengan menyamar jadi pengemis, Abu nawas dan
Baginda datang ke rumah Tuan Habul.
Pucuk
dicinta ulam tiba, Tuan Habul sedang ada di rumah. Abu nawas pun segera uluk
salam.
“Selamat
pagi, Tuan. Kami ini pengemis. Apakah Tuan ada sedikit uang receh?”
“Tidak
ada!” jawab Tuan Habul dengan angkuh.
“Kalau
begitu, apakah Tuan punya pecahan roti kering sekadar untuk mengganjal perut
kami yang sedang lapar?”
“Tidak
ada!” “Kalau begitu, kami minta air putih saja. Tidak banyak, masing-masing
satu gelas saja.”
“Sudah
kubilang sedari tadi aku tidak punya apa-apa!” Tuan Habul mulai tidak bisa
menahan emosinya.
Dan
rupanya jawaban ini yang ditunggu-tunggu Abu nawas. “Kalau Tuan tidak punya
apa-apa,” cetus Abunawas,“mengapa Tuan tidak ikut kami saja jadi pengemis?”
Wajah
Tuan Habul pucat pasi mendengar cetusan Abunawas. Rasa marah, tersinggung dan
terhina bercampur aduk menjadi satu. Tapi, belum sempat kesadaran Tuan Habul
pulih, Abu nawas dan Baginda segera membuka kedoknya.
“Bagaimana,
Habul,” kali ini giliran Baginda yang berbicara,“mau pilih jadi orang kaya atau
menjadi orang yang tidak punya apa-apa?
Kalau
pilih jadi orang yang tidak punya apa-apa, ya ikut saja Abu nawas mengemis dari
rumah ke rumah.Tapi kalau pilih menjadi orang kaya, ya jangan lupa membayar
zakatnya. Bukan begitu, Habul?”
Mendengar
penuturan Baginda, Tuan Habul terdiam seribu bahasa. Dia merasa sangat malu.
Sedang
Abu nawas hanya cengengesan menyaksikan kejadian itu. “Enak saja Baginda
menyuruhku jadi pengemis,” gumam Abunawas sambil mengumpat dalam hati.***