HIKAYAT: Abu Nawas “Nazar Seorang Saudagar”
“Hai
istriku sebaiknya kita bernazar kepada Allah”, kata seorang saudagar kepada
istrinya, “Jika kita diberi anak laki-laki, aku akan memotong kambing yang
besar dan lebar tanduknya sejengkal, kemudian dagingnya kita sedekahkan kepada
fakir miskin.”
Rupanya
sang saudagar tersebut sudah sangat merindukan lahirnya seorang anak, karena
telah bertahun-tahun berumah tangga tidak kunjung diberi momongan oleh Tuhan.
Kemudian ia menyuruh beberapa orang untuk mencari kambing besar bertanduk
selebar jengkal, dengan pesan, “Beli saja kambing itu berapapun harganya, tidak
usah ditawar lagi.”
Ternyata
usaha itu gagal total. Sulit memperoleh kambing dengan lebar tanduk sejengkal,
yang ada paling-paling selebar tiga-empat jari. Akibatnya saudagar itu susah,
tidurpun tidak nyenyak. Terpilir olehnya untuk mengganti nazarnya itu dengan
sepuluh ekor kambing sekaligus. Yang penting kan kambing, bukan binatang lain.
Namun rencana itu akan dikonsultasikan dulu dengan beberapa orang penghulu di negeri
itu.
Ketika
sampai di rumah seorang penghulu ternyata rumah itu sedang digunakan sebagai
tempat pertemuan para penghulu seluruh negeri. “Apa maksud kedatangan adan
kemari?” tanya penghulu yang tertua.
Ya
tuan Kadi.” Jawab si saudagar itu. “Hamba mempunyai nazar yang sulit
dipecahkan,” lalu diutarakan kendala yang dihadapi dan rencana penggantiannya.
Ternyata
para Kadi itu tidak berani memberikan rekomendasi untuk mengganti nazar. Mereka
bahkan menyuruh saudagar itu untuk terus mencari kambing bertanduk sejengkal
dimanapun dan kemana pun, sesuai dengan nazar semula. “Kami semua tidak berani
menyuruh menggantinya dengan yang lain-lain.”
Kenyataan
itu semakin bertambah berat beban saudagar itu. Ia pun mohon diri pulang ke
rumah. Pada suatu hari ia mendapat kabar, bahwa di Negeri Baghdad ada seorang
Raja yang adil, arif dan bijaksana. Namanya Sultan Harun Al-Rasyid. Maka ia pun
pasang niat menghadap Sultan ke Bagdad. Sesampai disana kebetulan baginda
sedang duduk di Balairung bersama beberapa orang menteri.
“Hai
orang muda, engkau berasal dari mana?” tanya baginda setelah melihat kedatangan
saudagar muda ini.
“Ya
Tuanku Syah Alam,” jawab Saudagar muda. “Ampun beribu ampun, adapun patik ini
berasal dari Negeri Kopiah.”
“Apa
maksudmu datang kemari, ingin berdagang,” tanya baginda Sultan.
“Ya
tuanku, patik datang kemari ingin mengadukan nasib hamba ke bawah duli yang
dipertuan,” jawab si saudagar.
“Katakan
maksudmu, supaya bisa kudengar,” titah baginda Sultan. Maka diceritakanlah
perihal nazar itu sampai kepada keputusan para penghulu negeri kopiah dan
niatnya menemui baginda Sultan di Bagdad. “Selanjutnya hamba mohon petuah dan
nasehat Baginda agar hamba dapat melepas nazar hamba itu dengan sempurna,”
tutur saudagar itu dengan nada menghiba.
“Baikah,”
kata Baginda, “Datanglah besok pagi, Insya Allah aku dapat memberi jalan
keluar.”
Saudagar
itu pun mohon pamit dengan hati berbunga-bunga kembali ketempat penginapannya.
Alkisah,
Sultan pun bingung memikirkan nazar Saudagar itu, sepanjang siang dan malam ia
tidak dapat memicingkan matanya, dengan apa nazar itu akan di bayar bila
kambing bertanduk sejengkal tidak di dapat juga. Diganti dengan yang lain,
haram hukumnya. Malam harinya beliau mengumpulkan para Kadi, dan alim ulama di
istananya. Kepada mereka beliau menyatakan keresahan hatinya sehubungan dengan
nazar saudagar dari kopiah itu. “Tolong berikan pertimbangan kepadaku malam ini
juga karena aku sudah terlanjur berjanji kepadanya untuk menerimanya menghadap
esok pagi.” Titah Baginda Sultan. “Atau aku akan mendapat malu besar.”
Suasana
balairung pun hening, sunyi senyap berkepanjangan. Mereka termenung dan
terpekur memikirkan titah Sultannya. Namun tidak juga ditemukan jalan
keluarnya.
“Ya
Tuanku Syah Alam,” kata salah seorang yang tertua di antara mereka. “Tidak ada
hukumnya, baik menurut kitab maupun logika, bahwa nazar itu boleh diganti
dengan barang lain,” setelah itu satu persatu mereka mohon diri meninggalkan
balairung dan pertemuan pun bubar.
Baginda
lalu masuk istana, mau tidur, tetapi mata itu tidak mau diajak kompromi, karena
otak masih terfokus pada masalah nazar dan malu besar yang akan dihadapinya
esok pagi. Menjelang subuh baginda pun teringat kepada Abu Nawas. Tidak ada
manusia yang dapat memutuskan hal ini selain Abu Nawas,” pikir Baginda dengan
suka cita. Setelah itu barulah baginda dapat memicingkan matanya, tidur pulas
sampai pagi.
Begitu bangun, diutuslah penggawa memanggil
Abu Nawas. Setelah Abu Nawas tiba dihadapannya, baginda pun mengutarakan
perihal nazar saudagar dari negeri Kopiah itu dan semua usaha yang sudah
ditempuhnya serta malu besar yang akan didapatnya sebentar lagi, karena para
Kadi, dan orang alim seluruh negeri, tidak dapat memberi jalan keluar. Apalagi
sebentar lagi saudagar dari kopiah itu akan menghadap ke Istana. “Apa
pendapatmu tentang hal itu?” tanya baginda sultan dengan sorot mata ingin tahu
jawaban Abu Nawas.
“Ya
tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas ringan. “Janganlah tuanku bersusah hati,
jika tuanku percaya Insya Allah hamba dapat menyelesaikan perkara ini.”
Tak
berapa lama kemudian balairung pun dipenuhi orang-orang yang ingin tahu
keputusan Baginda Sultan tentang nazar saudagar dari negeri kopiah itu. Baginda
memanggil saudagar tersebut dan memerintahkan Abu Nawas memecahkan masalah itu.
“Hai saudagar, bawalah kemari anakmu, dan seekor kambing yang besar badannya,”
kata Abu Nawas.
Mendengar
perkataan Abu Nawas itu semua orang terheran-heran, termasuk Baginda Sultan dan
si saudagar itu. “Apa maksud Abu Nawas kali ini?” pikir mereka.
Si
saudagar itu menyatakan kesediaaannya membawa anak dan seekor kambing paling
besar serta mohon pamit pulang ke negeri kopiah. Baginda Sultan masuk Istana,
melanjutkan tidurnya, dan pertemuan pagi itu pun bubar.
Sesuai
dengan janjinya, saudagar itu pun datang kembali ke Bagdad beberapa hari
kemudian. Ia membawa istri, anak dan seekor kambing, langsung menghadap Sultan
di Istana.
“Datang
juga engkau kemari, hai saudagar,” kata Baginda Sultan. “Tunggulah sebentar,
akan aku kumpulkan penghulu dan rakyat,” kemudian Baginda menyuruh memanggil
Abu Nawas.
Akan
halnya Abu Nawas, ketika mengetahui di jemput ke Istana, ia pura-pura sakit.
Baginda Sultan yang diberi tahu hal itu memaksa agar Abu Nawas di bawa dengan
kereta Kerajaan. Maka berangkatlah Abu Nawas ke Istana dengan mengendarai
kereta kencana yang ditarik dua ekor kuda.
“Mengapa
kamu terlambat datang kemari?” tanya Baginda Sultan.
“Ya
tuanku, patik terlambat datang karena patik sakit kaki,” jawab Abu Nawas.
“Hai
Abu Nawas…” kata Sultan. “Saat ini telah datang kemari saudagar itu bersama
istri, anak dan seekor kambing yang besar badannya. Coba selesaikan masalah ini
dengan baik.”
“Baiklah,”
kata Abu Nawas, “Akan hamba selesaikan masalah ini.” Bukan main senang hati
Baginda mendengar jawaban itu.
Abu
Nawas menarik kambing dan anak saudagar itu. Jari tangan kiri anak tersebut
dijengkalkan ke tanduk kambing dan ternyata sama panjangnya. Baginda Sultan dan
seluruh yang hadir di balairung heran memikirkan ulah Abu Nawas.
“Ya
tuanku, hamba mohon ampun,” kata Abu Nawas. “Jika hamba tidak salah ingat,
saudagar itu mengatakan bahwa lebar tanduk kambing itu sejengkal. Karena yang
dinazarkan anak ini, jari anak inilah yang hamba jengkalkan ke tanduk kambing
itu, dan ternyata pas benar. Jadi kambing ini boleh disembelih untuk membayar
nazar. Itulah pendapat hamba. Jika salah, hamba serahkan keputusannya kepada
Baginda dan semua orang yang hadir disini.”
“Pendapat
Abu Nawas aku kira benar,” kata Baginda Sultan. Dengan sangat meyakinkan.
Bukan
main senang hati saudagar itu karena ia dapat membayar lunas nazarnya. Maka
diberikanlah hadiah kepada Abu Nawas berupa uang seratur dirham, kemudian ia
mohon pamit kepada Sultan, pulang ke negerinya.***