#pentigrafun: Sarung Sang Kiai
Sampai sekarang…tepat pukul 12.00
setiap hari jumat, kamu pasti akan mendengar, lebih tepatnya terganggu oleh
rintihan dan tangisan massal…jika kamu bertandang ke kampung yang aku
maksudkan. Para lelaki dan perempuan, tua serta muda, bahkan bayi-bayi pun
sengaja dibuat menangis. Mereka seperti terkena sihir…berjalan menuju pelataran
Surau…sekejap kemudian berjongkok rapi melingkar, mengelilingi tiang bendera
dari bambu kuning yang memancarkan aura keemasan, berwibawa, dan mistis.
Disusul rintihan dan tangisan yang keras dan semakin keras. Pemandangan menjadi
semakin memilukan karena mereka memukul-mukul dada dan wajah terlempar lurus ke
atas…menatap sesuatu yang terikat, persis setengah tiang. Tapi jangan kamu
tergesa-gesa menarik kesimpulan dulu. Izinkan aku melanjutkan ceritaku ini.
Satu jam kemudian…ya persis satu jam
karena aku telah membuktikan dan menghitungnya setiap kali kejadian itu
berlangsung. Suasana tiba-tiba menjadi senyap…angin pun enggan melenggang, kicauan
cicit burung seperti tenggelam di empang yang ada di belakang Surau itu. Perlahan
bahkan sangat perlahan mereka berjalan rapi dengan kepala tertunduk untuk
menjawab panggilan Sholat Jumat. Selama mereka sembahyang, saat imam berkotbah,
tidak ada hal yang aneh. Namun, kejadian berikutnya akan membuatmu terus
berpikir. Setelah usai bertafakur, mereka akan berjalan jengkeng, seperti yang
dilakukan oleh para abdi kraton, menuju pintu keluar Surau. Persis di depan
pintu itu, antri rapi dan penuh hormat mencium kain putih kecoklatan karena
darah itu sudah lama mengering. Ritual itu sudah diwariskan sejak Mbah Trah Tumerah alias moyang ke delapan
belas menurut perhitungan Jawa.
Konon kain putih kecoklatan karena
darah itu sudah lama mengering adalah sarung putih yang selalu dikenakan oleh
Kyai penunggu Surau itu. Penduduk kampung yang aku maksudkan telah menganiyaya
dan membakar hidup-hidup Sang Kiai di pelataran Surau. Alasannya sederhana. Saat
mereka akan Sholat Jumat, mereka menemukan tubuh Prameswari di dalam Surau. Gadis
perawan jelita pujaan kampung itu sudah tak bernyawa lagi. Kulitnya yang kuning
langsat menyeruak keluar karena sarung putih itu terlalu pendek untuk menutupi
tubuhnya yang tinggi semampai. Penduduk kampung yang aku maksudkan menyesal dan
meyakini telah salah sasaran. Lelaki Tua Misterius yang seharusnya menerima
ganjaran setimpal, bukan Sang Kiai. Itulah mengapa ritual itu hingga kini masih
menjadi tradisi di kampung yang aku maksudkan. Ini rahasia, hanya padamu
kubisikkan, “Lelaki Tua Misterius tak lain adalah Sang Kiai yang setia dengan
sarung putihnya itu.”
Yogyakarta, 19.08
30 September 2017
AMDG Sanusi