Belajar Budaya Disiplin dari Negeri Sakura
Disiplin
masyarakat masih merupakan salah satu masalah bangsa ini karena kesadaran
masyarakat untuk berdisiplin masih rendah. Banyak dari mereka tidak menyadari
bahwa kesadaran berdisiplin akan kembali kepada kenyamanan mereka juga dalam
menikmati jasa. Banyak contoh ketidaknyamanan atau keruwetan yang muncul akibat
disiplin masyarakat yang rendah, mulai dari tidak tertib saat antri, membuang
sampah sembarangan, bahkan sampai perilaku yang sangat membahayakan nyawa
mereka sendiri seperti naik ke atap KRL.
Memang
kesalahan jangan hanya ditimpakan seluruhnya kepada masyarakat, namun
pemerintah sebagai perumus kebijakan dan peraturan juga layak disalahkan,
karena kunci utamanya memang seharusnya ada sinergi antara pemerintah dan
masyarakat.
Beberapa
waktu yang lalu seorang teman yang kuliah di negeri Sakura (Jepang)
menceritakan tentang budaya disiplin dalam membuang sampah, mungkin bisa
jadikan salah satu model untuk belajar bagi kita. Di negeri Jepang selalu
dikampanyekan slogan Utsukushi kuni ('Negara Jepang yang cantik'). Meskipun di setiap sudut negeri ini
sudah terlihat bersih, kebersihan memang menjadi ciri utama Jepang dan rasanya
sulit di jumpai di negara lain.
Disiplin
dalam membuang sampah telah membudaya di masyarakat. Baru-baru ini Chukyo
University, salah satu universitas di Jepang mengeluarkan edaran mengenai terbentuknya
Gomihiroi-tai
di
kampus. Gomihiroi-tai artinya pasukan pemungut sampah yang bertujuan mewujudkan kampus
Chukyo sebagai yang tercantik di Jepang. Saat ini, anggota pasukan ini mencapai
85 orang sukarelawan dan sukarelawati kampus. Edaran ini meminta partisipasi
dari para dosen dan staf agar bergabung di pasukan ini. Saat bergabung, calon
anggota pasukan itu harus mematuhi aturan-aturan sebagai berikut:
1. Sampah
yang jatuh di kampus harus dipungut dengan tangan kosong (sude), tidak
boleh memakai alat. Memungut kotoran anjing atau kucing hanya diperuntukkan
bagi mereka yang bernyali besar (yuuki no aru hito).
2. Jika menemukan
puntung rokok atau permen karet, Anda tidak boleh pura-pura seolah tidak melihatnya.
Saat berjalan kaki di kampus, Anda harus memerhatikan jika ada sampah yang
harus dipungut dalam area sekitar Anda pada radius 10 meter.
3. Jika
melihat sampah jatuh di halaman kampus, Anda tidak boleh mengumpat Daregasuteta! ('Siapa
yang membuang sampah ini?'). Anda harus memungut sampah itu dengan senang dan
hati ringan. Saat memungut sampah itu, Anda tidak boleh merasa malu atau merasa
kurang pantas (kakko warui). Pungutlah dengan wajah ceria dan senyum di wajah.
Selain itu,
ada pula beberapa catatan sebagai berikut.
1. Tidak ada
pungutan biaya untuk menjadi anggota Gomihiroi-tai.
2. Tidak
akan ada perintah atau komando dari pemimpin pasukan.
3. Jika
ingin keluar dari pasukan, silakan keluar sewajarnya.
4. Jika Anda
melanggar aturan yang ditetapkan, sesalilah sendiri kesalahan Anda itu di kamar
gelap.
5. Tidak ada
batasan maksimal jumlah anggota, usia, tinggi badan, maupun jenis kelamin.
6. Aksi
dilakukan perseorangan. Tidak akan ada aksi bersama atau serentak.
Setelah
mendengar cerita kawan tersebut, saya berkomentar dalam hati "Itu kan di
Jepang, negara yang sudah maju. Mau dicontoh apanya?" Sulit diterapkan di
negara kita, terutama isi aturannya yang aneh dan lucu. Dalam hal ini masih
jauh dari kondisi negara kita saat ini. Namun, kita tidak boleh pesimis, semua
kuncinya ada pada kemauan. Kalau kita mau dan semua orang juga mau, apa yang
tidak mungkin..? Jepang saja bisa, kenapa kita tidak bisa. Betul tidak?
Sumber: www.wikimu.com