SAPA SIRA SAPA INGSUN
Ungkapan peribahasa
berbahasa Jawa di atas secara harafiah bermakna “siapa engkau siapa aku”. Dalam
bahasa Jakarta mungkin lebih pas bermakna “lu lu gue gue”. Artinya ada
pemisahan tegas antara aku dan kamu dalam pergaulan di masyarakat, bahwa aku bukan
kamu dan kamu bukan aku.
Sebuah ungkapan dari
masyarakat Jawa tersebut sebenarnya merupakan suatu sindiran yang ditujukan
kepada seseorang yang memiliki sifat sombong dan egois. Seseorang yang
mempunyai sifat tersebut biasanya tidak akan bisa menghargai dan selalu
meremehkan orang lain dan merasa dirinya mempunyai “kelebihan” dalam segala
hal. Baik kepandaian, kekuatan, pangkat, derajat, harta, ketampanan,
kecantikan, maupun jabatan. Padahal itu semua sebenarnya justru akan
menjatuhkan dirinya sendiri dari lingkungan komunitasnya.
Dalam bergaul dengan
sesamanya, budaya masyarakat Jawa mengharapkan seseorang mempunyai sifat rendah
hati, budi pekerti yang baik, sikap dan cara hidup yang benar, tidak sombong,
dan bersahaja (dalam bahasa Jawa, samadya). Ketika bergaul dengan orang lain,
yang menjadi ukuran seseorang bisa dihormati dan disegani adalah karena sifat
budi pekerti yang baik serta rendah hatinya itu dan bukan karena kekuasaan,
kekayaan, ketampanan, kecantikan, atau jabatan. Bahkan di mata Tuhan, semua
umat dan makhluk itu dianggap sama dan yang membedakan itu hanya ketakwaan.
Itulah yang menjadi ukuran Tuhan menilai umatNya.
Ketika kekuatan,
kekuasaan, atau kekayaan telah menjadi pedoman seseorang untuk bergaul dan pada
akhirnya hanya untuk meremehkan orang lain, maka akan terjadi ketidakseimbangan
dalam bermasyarakat. Sifat meremehkan orang lain dan menganggap orang lain hina
karena kebodohan atau kemiskinan inilah yang akhirnya memunculkan peribahasa
“sapa sira sapa ingsun”. Sifat inilah yang sekarang sedang melanda negeri ini
khususnya di kota-kota besar dan dialami oleh orang-orang yang mempuyai sifat
sombong.***