NGLURUG TANPA BALA
Pepatah Jawa di atas
secara harfiah berarti mendatangi tanpa kawan.
Nglurug dalam khasanah
budaya Jawa dapat diartikan sebagai mendatangi suatu tempat atau seseorang yang
tempatnya relatif jauh dari orang yang akan mendatangi tersebut. Nglurug pada
masa lalu sering dikaitkan dengan peristiwa atau kasus persengketaan, konflik,
perang, dan hal-hal yang sejenis dengan makna tersebut. Untuk mendatangi orang
atau tempat yang menjadi musuh atau wilayah musuh merupakan hal yang berbahaya.
Akan tetapi nglurug tetap dilakukan demi penyelesaian masalah yang melibatkan
dua pihak atau kubu.
Dalam peperangan
peristiwa nglurug umumnya akan dilakukan dengan membawa banyak bala ’teman’ dan
peralatan perang. Jadi nglurug tanpa bala merupakan peristiwa yang cukup
langka.
Nglurug tanpa bala
sekalipun dianggap sebagai sesuatu yang langka namun hal ini dianggap baik dan
ideal bagi masyarakat Jawa. Pasalnya, nglurug tanpa bala menunjukkan sifat jantan
dari orang yang nglurug tersebut. Nglurug tanpa bala diasumsikan sebagai
penyelesaian masalah antara dua pihak yang berkonflik tanpa harus melibatkan
orang lain. Hanya orang yang bersangkut paut dengan konflik itu sajalah yang
semestinya menyelesaikannya. Tidak perlu melibatkan orang lain yang semestinya
memang tidak perlu terlibat.
Nglurug tanpa bala
dianggap sebagai sikap jantan atau ksatria. Jika persoalannya memang bisa
diselesaikan dengan dialog, hal itu memang diidealkan. Akan tetapi jika terpaksa
diselesaikan dengan kekerasan (perkelahian), maka hanya orang yang terlibat
sajalah yang melakukan perkelahian itu secara ksatria pula (satu lawan satu).
Orang yang dilurug pun diidealkan menerima orang yang nglurug tanpa bala itu
menyambutnya dengan tanpa bala juga. Seandainya pun yang menerima orang
tersebut membawa bala, orang yang nglurug tetap akan mencari orang yang
dianggap mempunyai persoalan dengan dirinya karena bala yang terlibat dianggap
tidak mengerti pokok persoalannya.
Tampaknya nglurug tanpa
bala di zaman ini sudah sulit dilakukan mengingat semua orang selalu membawa
bala dalam setiap persoalan yang dihadapinya. Akibatnya persoalan yang
semestinya bisa diselesaikan dengan melibatkan orang yang bersangkutan justru
menyeret kelompok, golongan, ras, korp, organisasi, dan sebagainya yang
berujung pada keruwetan. Bahkan berujung tawur yang sungguh ngawur.***