DHUPAK BUJANG
Dalam khasanah budaya
Jawa dikenal pemeo atau semacam peribahasa yang berbunyi dhupak bujang, esem
bupati, dan sasmita narendra. Hal ini berkaitan erat dengan cara orang atau
masyarakat Jawa dalam menyampaikan kritik kepada seseorang.
Dhupak bujang terdiri
dari dua istilah, yakni dhupak dan bujang. Dhupak diartikan sebagai menendang
atau tendangan. Ada pun yang disebut dengan istilah dhupak adalah cara
menendang dengan posisi jari-jari kaki menghadap ke atas. Bagian yang digunakan
untuk mengenai (mendhupak) orang atau benda adalah bagian tumit yang ada di
telapak kaki.
Bujang mengacu pada pengertian pelayan, batur ‘semacam jongos’, kuli,
atau buruh. Dhupak bujang mengandung pengertian bahwa orang-orang segolongan
bujang, kuli, atau buruh adalah dengan didhupak. Hal itu terjadi karena orang
yang digolongkan demikian dianggap tidak akan peduli apa-apa dengan kritikan
yang disampaikan dengan keras dan kasar sekalipun. Bahkan makian pun tidak akan
mereka pedulikan asalkan upah atau gajinya tetap dibayarkan. Orang-orang
demikian dianggap tidak memiliki harga diri karena keseluruhan hidupnya
semata-mata hanya untuk mengejar upah dan upah.***
Baca juga DIBECIKI MBALANG TAI