Resensi Film: “Good Kill”, Derita Psikis Pilot Tempur di Balik Kendali Drone
LANGIT menjadi panggung seorang penerbang. Apalagi
bagi seorang penerbang jet tempur –apakah itu pembom atau striker— maka
langit menjadi hidup dan karirnya. Untuk seorang penerbang jet
pembom-tempur F-16 “Fighting Falcon”, sudah barang tentu selain langit,
maka rudal dan berikut semua teknologi penjejak deteksi keberadaan
musuh menjadi dunia panggung yang membuatnya eksis.
Begitu terbang menembus awan dan berjaya di langit, maka itulah
bahagianya seorang penerbang. Bagi penerbang jet pembom-tempur F-16,
terbang di udara dan berhasil menjejak keberadaan musuh dan menembaknya
merupakan prestasi yang akan dia catat dalam logbook jam terbangnya.
Begitulah hidup seorang penerbang jet pembom-tempur seperti yang
dialami Mayor Thomas Egan (Ethan Hawke). Tapi itu dulu sekali. Sekarang
kejayaannya sudah luntur dan merasa diri eksistensinya sebagai ‘elang
angkasa’ sudah tergantung di dinding, begitu dia didapuk komandan untuk
menjadi ‘penerbang’ pesawat tanpa awak (drone) di balik ruang kemudi komando sentral.
Meski memainkan beberapa panel kemudi, namun toh sejatinya Egan bukan
lagi seorang penerbang. Sekalipun dengan daya jelajah dan kemampuan
deteksi dini yang luar biasa dan drone itu bisa membunuh musuh dalam 10
detik, namun toh harga diri dan kebanggaan seorang penerbang sudah
luntur.
Egan mengalami depresi psikis, lantaran harus meninggalkan kokpit
F-16 dan kemudian beralih menjadi ‘penerbang’ drone di balik ruang
kemudi komando sentral. Persolaan psikis yang menggerogoti kediriannya
merembet masuk ke ruang-ruang pribadi dimana harga dirinya pun jatuh di
hadapan sang istri.
Egan menjadi pemuruh, gampang emosional, dan mulai suka minum alcohol.
Ia perkasa di balik ruang kemudi komando dan mampu membunuh bom
dengan arahan laser dan tepat sasaran dalam tempo hanya 10 menit saja,
namun dia tak berdaya membawa keberadaan dirinya sendiri di dalam
keluarga. Istrinya memilih pergi meninggalkannya, karena merasa
‘kesepian’ ketika Egan mendesak komandannya agar bisa terbang lagi
membawa F-16 ke Afghanistan untuk membunuh ‘musuh-musuh’ Amerika.
Namun, harapan itu kandas. Egan tetap dibenum di darat –bukan di langit—untuk ‘menerbangkan’ pesawat tak berawak yang sangat mematikan ini.
Good Kill adalah film drama psikologis seorang penerbang
tempur. Bagaikan rajawali kehilangan sayap, maka itulah Egan yang telah
kehilangan harga diri dan menjadi lungkrah karena kokpik pesawat F-16
sudah ‘dijauhkan’ darinya. Hari-harinya hanya sibuk mengatur panel-panel
kemudi drone dan itu sangat membosankan.
Berhadapan dengan keseharian hidup serba monoton dan tidak membuat
hepi memang menjadi tantangan dunia modern, ketika manusia akhirnya
tidak bisa memilih dimana dan oleh siapa dia dilahirkan. Faktisitas
hidup di hamparan dunia militer inilah yang dihadapi Egan: ia berjaya di
balik ganasnya drone menghantam sasaran musuh di Afghanistan, tapi dia
impoten melawan harga dirinya yang dulu berjaya di balik kokpit F-16.***
Baca juga Resensi Film: "Mad Max: Fury Road", Detak Kehidupan dalam Irama Balapan Liar
Baca juga Resensi Film: "Mad Max: Fury Road", Detak Kehidupan dalam Irama Balapan Liar