Resensi Film: “Confucius”, Guru Mati Terhormat akan Tinggalkan Ajaran
KETIKA
ajal hampir mendekat, dalam usianya yang sudah sangat sepuh mahaguru
Kong Qi hanya bisa berharap sangat sederhana. Yakni, semoga ajarannya
tetap langgeng sekalipun tubuhnya yang fana sebentar lagi ditelan usia
dan kemudian mati.
Kong Qi yang dalam tradisi filsafat Barat berubah nama menjadi
Confucius mati terhormat dengan meninggalkan ajaran. Bukan harta dan
bukan pula warisan material yang bisa dinikmati keluarga dan kerabatnya.
Lebih dari itu, dia meninggalkan ‘harta’ rohani dan pengetahuan moral
tentang berbagai issue kehidupan bermasyarakat dan bagaimana menjadi manusia terhormat di kalangan masyarakat.
Itulah sebabnya, catatan-catatan penting yang di-buku-kan dalam
bentuk tulisan-tulisan di papan lontar menjadi sangat berharga bagi
Confucius. Itu pula yang menjadikannya hatinya menangis tersedu-sedu,
ketika murid kesayangannya harus mati beku di danau es yang tiba-tiba
pecah dan menenggelamkan koleksi ajarannya di kepingan-kepingan lontar
tersebut.
Murid ini rela mati demi “menyelamatkan” warisan ajaran Kong Qi (Confucius).
Murid ini rela mati demi “menyelamatkan” warisan ajaran Kong Qi (Confucius).
Urusan politik-militer
Kong Qi yang sepuh jelas berbeda dengan sosok dirinya ketika masih relatif lebih muda. Saat menjadi pejabat walikota dan kemudian dipromosikan menjadi Menteri Bidang Hukum di Kerajaan Lu, pamor Kong Qi mencuat tidak hanya di bidang ajaran moral, etika, dan kemasyarakatan. Dia juga berpamor di bidang politik dan militer.
Kong Qi yang sepuh jelas berbeda dengan sosok dirinya ketika masih relatif lebih muda. Saat menjadi pejabat walikota dan kemudian dipromosikan menjadi Menteri Bidang Hukum di Kerajaan Lu, pamor Kong Qi mencuat tidak hanya di bidang ajaran moral, etika, dan kemasyarakatan. Dia juga berpamor di bidang politik dan militer.
Nasehatnya digugu dan ditiru oleh penguasa Raja Lu. Termasuk
ketika Kong Qi meretas ‘peradaban’ baru di lingkungan Kerajaan Lu yakni
bahwa semua budak tidak harus ikut mati (baca: dibunuh paksa) mengikuti
tuannya yang meninggal. Atas nama cinta kehidupan dan keadilan, para
budak harus tetap dibiarkan hidup, sekalipun tuannya meninggal dunia.
Kong Qi berani melawan adat dan tradisi yang berlaku saat itu di
Tiongkok: kalau ada bangsawan dan pejabat negara/pemerintahan meninggal,
maka seluruh budaknya harus rela ‘mengikuti kematian’ tuannya. Itu
berarti mereka harus dibunuh dan dikubur hidup-hidup di dalam kuburan
batu.
Sebenarnya, tradisi membawa kematian para budak mengikuti kematian
tuannya ini pun masih berlaku di Pulau Sumba –Indonesia—beberapa dekade
silam. Di pulau indah di kawasan Provinsi NTT ini, kata seorang pastor
asli Sumba, dulu kalau sang tuan meninggal maka anjing kesayangannya
harus ikut mati. Pun pula semua budak dan inang pun harus ‘dikorbankan’
mengikuti proses kematian sang tuan.
Di zaman Confucius, sekitar lima abad SM, tradisi barbar itu tumbuh
subur di Tiongkok. Dan mungkin saja di belahan dunia lainnya, ketika
nyawa manusia sepenuhnya ada di tangan penguasa.
Confucius merubah tradisi tidak mudah. Bahkan di paruh tengah
hidupnya, ia harus menerima putusan dari penguasa: harus meninggalkan
tanah kelahirannya di Kerajaan Lu. Batu giok dipecahkan oleh penguasa
dan itu berarti persahabatannya dengan Sang Penguasa pun hancur.
Kong Qi yang terhormat langsung jatuh pamor: menjadi petualang tanpa
arah dan tujuan hingga akhirnya berhasil mendapatkan tempat di sebuah
kerajaan lain.
Namun di ujung sana, pertobatan memotivasi penguasa sepuh untuk
kembali mempertautkan persaudarannya dengan Kong Qi dipulihkan.
Putrannya diutus untuk menjemput Confucius, namun ajal sudah mendahului
menjemput penguasa ini sebelum akhirnya perdamaian batu giok yang utuh
berhasil mereka genggam bersama.
Film berjudul sama Confucius dengan bintang papan atas Chow
Yun Fat bukan film perang. Juga bukan film drama dan apalagi film
‘biografi’ Kong Qi. Saya lebih melihat film ini sebagai paparan
filosofis Conficius dalam bingkai fase-fase kehidupan dia.
Mereka yang berharap bisa menonton kung fu dalam Confucius
ini, pasti akan kecewa. Namun mereka yang mencintai filsafat kehidupan
–terutama filsafat Tiongkok dalam berbagai persoalan kemasyarakatan—maka
Confucius menjadi hiburan yang menambah wawasan tentang hidup ini.***
Baca juga Resensi Film: “Good Kill”, Derita Psikis Pilot Tempur di Balik Kendali Drone
Baca juga Resensi Film: “Good Kill”, Derita Psikis Pilot Tempur di Balik Kendali Drone