Resensi Film: “A Walk among the Tombstones”, Membunuh karena Menyesali Masa Lalu
DALAM kamus tradisi kristiani, masih ada ruang
terbuka bagi para pendosa untuk kembali ke jalan yang benar. Caranya
satu: menyesali perbuatan dan ‘metanoia’ kembali berbalik ke jalan yang
benar. Ini yang tengah dijalani Matt Scudder (Liam Neeson), seorang
mantan polisi yang punya kebiasaan mabuk.
Untuk membuatnya dirinya ‘bertahan’ dalam proses ‘metanoia’ ini, ia
rajin mengikuti acara kebaktian rohani. Inilah tempat ‘purgatoire’
dimana Matt boleh ‘menyucikan diri’, mensharingkan pengalaman masa
silamnya. Ia boleh bicara juga tentang kisah masa lalunya sebagai polisi
dengan tembakannya yang ‘salah sasaran’ hingga menewaskan seorang anak
perempuan dalam sebuah insiden baku tembak di luar kedai kopi.
Di komunitas kebaktian rohani ini, Matt seakan menemukan dunianya
yang baru. Namun, sejatinya di lubuk hatinya selalu terpendam rasa sesal
pernah melontarkan timah panas kea rah sasaran yang salah. Guilt feeling
terus menderanya hingga akhirnya ia merasa mendapatkan kesempatan untuk
makin bergiat bertobat untuk menolong Kennt Kristo (Dan Stevens).
Ia iba karena Kenny merengek minta tolong. Istinya diculik, dibunuh dengan kejam oleh penculik sekalipun sudah membayar tebusan.
Proses ‘metanoia’ kembali ke jalan yang benar kini bercampur baur
dengan prosesi menemukan identitasnya kembali sebagai penegak hukum
(baca: polisi). Matt seakan menemukan dunianya kembali sebagai aparat.
Ia memburu penculik, lebih karena ingin membasmi kejahatan daripada
hanya sekedar mendapatkan upah atas jasanya menjadi detektif swasta
tanpa izin.
A Walk among the Tombstones adalah kisah Matt menjejak nyawa
manusia yang hilang tanpa bekas. Umumnya adalah gadis atau ibu rupawan
yang diincar pembunuh maniak dengan iming-iming mendapatkan uang
tebusan.
Kenny Kristo adalah korban kesekian dari sepasang pembunuh keji berhaluan seks sejenis ini.
Satu gerakan, satu langkah bertobat
Berkat bantuan anak jalanan bernama TJ (Brian Astro Bradley), enigma
teka-teki pembunuhan dengan motif penculikan demi tebusan duit ini makin
terkuak. Ternyata, kedua pembunuh ini memang tergolong psikopat: suka
mencincang korban, menjerat lehernya dengan kawat baja setelah
sebelumnya menyiksa bagian-bagian vital milik perempuan.
Di ujung cerita, Matt Scudder berhasil menaklukkan kedua pembunuh
homo dengan karakter sadis dan maniak ini. Nah, inilah ‘aneh’nya film A Walk among Tombstones ketika urusan menembak penjahat kemudian dikaitan dengan proses ‘metanoia’ pertobatan pribadi Matt di komunitas rohani.
Satu gerakan fisik untuk merangkai manuver tubuh membengkuk lawan itu
seirama dengan satu tahapan ‘metanioa’. Satu tembakan berarti satu
tahapan lebih tinggi lagi untuk kemudian bisa ‘membersihkan’ diri dari
dosa masa silam.
Ini film Hollywood, namun masih kental dengan citarasa Eropa,
khususnya Inggris. Aktornya tidak banyak, hanya beberapa orang saja.
Lebih banyak mengumbar ide-ide filosofis-teologis tentang apa itu
bertobat dari masa lalu dengan kemasan: seorang polisi yang harus
‘mencuci bersih’ dirinya dari dosa masa lalu yakni suka mabuk dan salah
tembak.***
Baca juga Resensi Film: “Fast and Furious 7”, Film Aksi dengan Citarasa Keluarga
Baca juga Resensi Film: “Fast and Furious 7”, Film Aksi dengan Citarasa Keluarga