Resensi Film: “Ada Surga di Rumahmu”, Surga Begitu Dekat Kita
PENDIDIKAN karakter adalah jargon yang marak kita dengar beberapa tahun terakhir di dunia pendidikan kita. Adalah film berjudul Ada Surga di Rumahmu yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama yang berhasil mengejawantahkan pendidikan karakter dalam kehidupan nyata.
Kehidupan di tepian Musi
Film karya Aditya Gumay ini dibuka dengan kisah kehidupan masyarakat
di tepian Sungai Musi, Palembang pada tahun 2004. Ramadhan adalah putra
dari Abuya dan Umi, sebuah keluarga kecil yang bahagia. Bersama kakak
dan adiknya, Ramadhan dibesarkan oleh kedua orang tuanya dengan penuh
kasih sayang.
Di masa kecilnya Ramadhan dikenal sebagai anak yang badung dan suka
berkelahi. Karena begitu menyayangi putranya, Abuya dan Umi memutuskan
untuk menitipkan Ramadhan di Pondok Pesantren yang diasuh oleh Ustadz
Attar (Ustadz Alhabsyi).
Suasana haru dan sedih hadir saat perpisahan terjadi di antara
Ramadhan dan keluarganya. Dengan hati berat Ramadhan meninggalkan
rumahnya menuju pesantren diantar oleh Abuya.
Sesampainya di pesantren, Ramadhan bertemu dengan Ustadz Attar dan
penghuni pesantren lainnya. Di situlah Ramadhan dipertemukan dengan
Fauzan, Kiagus dan Abdul. Dua orang yang terakhir kemudian menjadi
sahabat karib Ramadhan hingga ia beranjak remaja.
Dididik dengan hati
Selama menempuh pendidikan di pesantren, Ramadhan bersama
teman-temannya mendapat pendidikan iman dan kesalehan hidup dari Ustadz
Attar dan pengajar lainnya. Nilai-nilai kejujuran, ketulusan, keteguhan
hati, keberanian, berani bertanggung jawab dan nilai-nilai kehidupan
yang begitu luhur lainnya sungguh-sungguh ditanamkan di dalam pesantren
tersebut.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sepuluh tahun kemudian,
Ramadhan (Husein Alatas – finalis Indonesian Idol) dan teman-temannya
telah menjadi anak-anak remaja. Sejak kecil, Ramadhan terobsensi menjadi
artis di televisi. Jalan hidup mempertemukannya dengan Kirana (Zee Zee
Shahab), seorang artis asli Palembang yang ketika itu sedang melakukan
syuting sebuah film dan mengambil lokasi di Pondok Pesantren tempat
Ramadhan dan kawan-kawannya menuntut ilmu. Pintu untuk menjadi calon
artis terbuka dan Ramadhan mendapat undangan untuk mengikuti casting
sebuah film laga di Jakarta.
Bersama dua orang sahabat karibnya, Ramadhan pun pergi menyeberangi
laut menuju Jakarta, tempat semua impian masa kecilnya hendak
dilabuhkan. Di Jakarta, Ramadhan dan teman-temannya menginap di sebuah
masjid dan menjadi guru ngaji di masjid itu. Ramadhan dan teman-temannya
terpaksa menginap di situ karena harus menunggu datangnya saat casting.
Menjelang hari casting tiba, saat subuh Ramadhan bermimpi bahwa
tentang Uminya yang jatuh pingsan. Bergegas ia terbangun dan sejurus
kemudian dia mendapati seorang anak laki-laki yang dengan berdoa di
dalam masjid sembari menangis tersedu-sedu.
Perbincangan di antara mereka pun terjadi. Anak laki-laki itu sembari
menangis berkisah tentang kematian kedua orang tuanya yang tragis.
Tiba-tiba Ramadhan tercenung dan teringat pada Uminya di kampung. Saat
menelpon Abuya, Ramadhan telah mendapati firasat bahwa sesuatu hal telah
terjadi pada Uminya.
Saat hari mulai terang, Ramadhan bergegas meninggalkan masjid untuk
kembali ke kampungnya. Kiagus dan Abdul sempat mencegah
langkah-langkahnya, namun Ramadhan tetap bersikeras pulang kampung.
Surga ada di rumah
“Surga yang paling dekat dan mudah kita dapatkan ada di rumah kita
dan itu adalah orang tua kita,” demikian disampaikan Ustadz Ramadhan
dalam sebuah siaran rohani di sebuah televisi di Jakarta.
Dalam suatu adegan tampak Umi Ramadhan tengah menyaksikan siaran
tersebut bersama dengan Abuya, Nayla (Nina Septiani) serta kakak-adik
Ramadhan. Umi Ramadhan terlihat masih terbaring di rumah sakit pasca
operasi beberapa waktu sebelumnya.
Film berdurasi sekitar 100 menit ini kaya akan nilai-nilai kehidupan
yang indah. Nilai-nilai yang mungkin sebagian diantaranya tidak lagi
menjadi perhatian dan diajarkan oleh para orang tua jaman sekarang
kepada anak-anaknya. Sehingga sudah menjadi kisah yang umum kita dengar,
ketika ada begitu banyak keluarga mengalami suasana “broken home”.
Seorang anak yang lahir ke dunia selalu didahului oleh pengorbanan
ibunya yang harus meneteskan darah dalam proses kelahiran anaknya.
“Seorang ibu dapat melahirkan sepuluh orang anak, namun belum tentu satu
diantara kesepuluh anak itu dapat membalas budi baik dan pengorbanan
ibunya,” itulah sekelumit kalimat dan diucapkan oleh Ustadz Attar kepada
Ramadhan sesaat sebelum meninggal dunia.
Ucapan ini sungguh dihayati dan diperjuangkan Ramadhan dalam kisah
yang ditampilkan dalam film keluarga yang inspiratif ini. Sehingga film
ini patut diapresiasi dan disambut antusias sebagai film pendidikan,
bukan saja bagi anak-anak, namun juga bagi para orang tua yang tengah
membesarkan dan mendidik anak-anak mereka.
“Surga itu begitu dekat. Tapi, mengapa kita sibuk mengejar yang jauh?”***
Baca juga Resensi Film: “Avengers, Age of Ultron”, Ketika Para Superhero Jadi Super Galau
Baca juga Resensi Film: “Avengers, Age of Ultron”, Ketika Para Superhero Jadi Super Galau